Berkeberatan dengan adanya pembatasan masa jabatan bagi hakim pengadilan pajak, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Cabang Pengadilan Pajak mengajukan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UPP). Sidang perdana perkara yang teregistrasi dengan Nomor 6/PUU-XIV/2016 ini digelar pada Selasa (23/2) di Ruang Sidang MK.
Pemohon menilai Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 13 ayat (1) huruf c UU 14/2002 yang mengatur pembatasan masa jabatan dan periodisasi hakim pengadilan pajak telah membatasi dan menghalangi kemerdekaan kehakiman dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan sehingga bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1), (2), (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal 8 ayat (3) UU 14/2002 menyatakan,“Ketua, Wakil Ketua dan Hakim diangkat untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali masa jabatan”. SedangkanPasal 13 ayat (1) huruf c a quo menyatakan,“Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung karena: c. telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun.”
Pemohon yang diwakili Tjip Ismail menjelaskan bahwa pengadilan pajak adalah peradilan di lingkungan peradilan tata usaha negara. Namun, ketentuan hakim tinggi peradilan tata usaha negara berbeda dengan hakim pengadilan pajak. Sebagaimana diatur dalam UU Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 9 ayat (1) huruf C Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, ketua, wakil ketua, dan hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dibatasi usia hingga 67 tahun. “Maka usia 65 tahun bagi hakim pengadilan pajak dalam UPP justru menimbulkan ketidaksamaan di hadapan hukum,” ujar Tjip di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams tersebut.
Ia menerangkan bahwa saat ini pengadilan pajak memiliki 56 hakim, namun dengan adanya aturan tersebut, maka akan berkurang 14 hakim pada tahun 2016 menjadi 32 hakim. Hal tersebut dinilai akan memberatkan kinerja pengadilan pajak dengan berkurangnya hakim. “Padahal pengadilan pajak adalah pengadili sengketa yang berkaitan dengan pemasukan uang negara. Sementara sengketa yang masuk di pengadilan pajak, setiap hari sekitar 60 perkara. Bisa dibayangkan kalau itu tetap dengan umur 65 tahun, pengadilan pajak akan kolaps,” terangnya.
Untuk itulah, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak tidak memili kekuatan hukum mengikat. “Menyatakan Pasal 13 ayat (1) huruf c, menyatakan Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak sepanjang frasa, ‘telah berusia 65 (enam puluh lima) tahun’ berlaku konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang usia diartikan konsisten dan sama dengan ketua, wakil ketua, dan hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, yaitu 67 (enam puluh tujuh) tahun,” ujarnya.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang juga terdiri dari Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Patrialis Akbar memberikan saran perbaikan. Suhartoyo mempertanyakan jika hakim pengadilan pajak meminta agar tidak dibatasi dengan adanya periodisasi, maka seharusnya hakim konstitusi juga mendapat perlakuan yang sama. Keduanya, menurut Suhartoyo, merupakan pelaku kekuasaan kehakiman baik Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi. “Mustinya samakan dong, Pak. Jangan membeda-bedakan. Badan peradilan kan satu, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi,” terangnya.
Sementara, Patrialis menyarankan agar Pemohon memperdalam argumentasi tentang kerugian konstitusional yang dialami dengan berlakunya dua pasal tersebut. “Dan tentu harus diperjelaskan, dijelaskan seperti apa, sih kerugian konstitusional Pemohon ini dengan usia seperti itu?”
Majelis Hakim meminta agar Pemohon menyerahkan perbaikan permohonan paling lambat hingga Senin, 7 Maret 2016. Sidang berikutnya akan digelar dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan. (Lulu Anjarsari/lul)