Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan uji materi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) pada Selasa (23/2). Sidang perkara No. 1/PUU-XIV/2016 tersebut dimohonkan oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO).
Diwakili Kuasa Hukum Munafrizal, Pemohon menilai telah terjadi tumpang tindih norma pengaturan mengenai pemberian pesangon dan pembayaran pensiun yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan, termasuk tumpang tindih dengan aturan terkait program jaminan pensiun sebagaimana diatur dalam UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. “Hal ini mengakibatkan pemberi kerja, pengusaha tidak memperoleh jaminan kepastian dan perlindungan hukum karena adanya dualisme pengaturan ini,” papar Munafrizal kepada Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Patrialis Akbar didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Suhartoyo di ruang sidang pleno MK.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan Pasal 167 UU Ketenagakerjaan membebankan kewajiban secara kumulatif kepada pengusaha dalam bentuk pembayaran pensiun sekaligus uang pesangon saat pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) karena memasuki usia pensiun. Selain itu, pengusaha juga dibebani membayar uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat. Padahal secara yuridis, menurut Pemohon, konsep pengaturan pembayaran pensiun dan pemberian pesangon sangat berbeda.
Pasal 167 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyebutkan,
“Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”
Sedangkan Pasal 167 ayat (2) UU Ketenagakerjaan menyatakan,
“Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang diterima sekaligus dalam program pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ternyata lebih kecil daripada jumlah uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4), maka selisihnya dibayar oleh pengusaha.”
Adapun Pasal 167 ayat (3) UU a quo menyebutkan, “Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun yang iurannya/preminya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka yang diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya dibayar oleh pengusaha.”
Pemohon memaparkan, Pasal 167 ayat 1 mengatur apabila pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pekerja karena memasuki usia pensiun dan pengusaha tersebut telah mengikutkan pekerja pada program pensiun, maka ia tidak mendapatkan uang pesangon. Namun, pekerja tersebut tetap berhak atas uang penggantian hak.
“Jadi di sini ada 2 konsep yang menurut kami menimbulkan ketidakpastian hukum. Pertama bahwa dimungkinkan terjadinya orang memasuki pensiun tapi dilakukan PHK. Kedua, kalau terjadi PHK karena memasuki usia pensiun, masih tetap berlaku baginya Pasal 156 Ayat (4),” papar kuasa Pemohon yang lain, Zafrullah Salim.
Dengan adanya frasa “tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai Pasal 156 Ayat (4)” dalam Pasal 167 ayat (1) UU a quo, Pemohon menilai tindakan pengusaha melakukan PHK ketika pekerja sudah memasuki pensiun akan memberikan hak kepada pekerja untuk menuntut haknya berdasarkan Pasal 156 Ayat (4). “Kalau kita ikuti Pasal 156 Ayat (4) mengenai hak atas penggantian hak bagi pekerja buruh karena memasuki usia pensiun, maka itu akan mengikuti banyak sekali dan berpotensi merugikan pengusaha,” imbuhnya.
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 167 UU Ketenagakerjaan tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Terhadap dalil tersebut, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menilai Pemohon banyak menyampaikan pertentangan antara satu UU dengan UU lain. Padahal, itu tugas DPR dan Pemerintah, bukan wewenang MK. “Karena MK hanya memiliki kewenangan menguji UU terhadap UUD. Selain itu, saya belum melihat adanya kerugian potensial yang diderita Pemohon,” ujar Wahiduddin sebagai hakim anggota.
Sementara Hakim Konsitusi Suhartoyo menganggap secara keseluruhan permohonan Penohon sudah baik secara sistematikanya. Namun, Suhartoyo sependapat dengan Wahiduddin, agar Pemohon lebih merinci kerugian konstitusional yang dialami. Sedangkan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar mengomentari bahwa MK tidak dapat menilai UU mana yang lebih baik ketimbang UU lainnya. Sebab, MK hanya memberikan penilaian sebuah UU bertentangan atau tidak dengan UUD. (Nano Tresna Arfana/Ilham Wiryadi/lul)