Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan uji materi UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) khususnya Pasal 43 ayat (2) beserta Penjelasannya terhadap UUD 1945, Selasa 5 Juni 2007 Pukul 11.00 WIB dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan.
Pasal 43 ayat (2) menyatakan: Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.
Dalam penjelasannya tertera: Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mendasarkan dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini.
Uji materi dengan perkara No. 13/PUU-V/2007 ini diajukan oleh Bambang Kristiono, mantan anggota TNI AD dengan pangkat terakhir Mayor (Infantri) yang pernah menjadi Komandan Batalyon 42 Grup 4 Kopassus sekaligus Komandan Tim Mawar yang terlibat pada peristiwa kasus orang hilang atau Kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktivis 1997-1998.
Dalam pemaparan fakta hukumnya, karena kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktivis 1997-1998 itu, Pemohon menjelaskan bahwa dirinya telah menjalani hukuman penjara satu tahun delapan bulan berdasarkan putusan pengadilan militer yang telah berkekuatan hukum tetap, dan bahkan Pemohon telah dipecat dari kesatuannya. Kini, setelah selesai menjalani hukumannya, Pemohon kembali merasa terancam kebebasannya karena DPR dalam rapat paripurna 27 Februari 2007 telah membentuk panitia khusus (Pansus) mengenai penanganan hasil penyelidikan Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktivis 1997-1998 dan merekomendasikan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc atas peristiwa tersebut.
Melalui surat Komnas HAM ke DPR No. 418/TUA/XI/2006 tanggal 27 November 2006 perihal kesimpulan hasil penyelidikan Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktivis 1997-1998, Pemohon mengetahui bahwa namanya masuk dalam rekomendasi tersebut sebagai orang yang patut dimintai pertanggungjawabannya.
Menurut Pemohon, upaya DPR membentuk pansus ini tak lain sebagai pelaksanaan kegiatan dalam lingkup penerapan UU Pengadilan HAM. Namun, Pemohon berpendapat bahwa DPR bukanlah lembaga hukum, sedangkan pelanggaran HAM berat adalah suatu bentuk tindak pidana yang harus diproses melalui lembaga-lembaga hukum yang menyandarkan diri pada kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka. Selain itu, Pemohon juga menyatakan bahwa segala keputusan yang diambil DPR memiliki landasan kepentingan politik. Hal inilah yang menyebabkan Pemohon merasa jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang seharusnya Pemohon dapatkan, justru terancam oleh intervensi politik.
Oleh karena itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 43 ayat (2) beserta penjelasannya bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) juncto Pasal 24 dan Pasal 24A ayat (5), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, serta menyatakan pasal a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pasal a quo sebenarnya sudah pernah diuji oleh MK pada perkara No. 065/PUU-II/2004 yang dimohonkan oleh Abilio Jose Osorio Soares. Namun Pemohon dalam perkara ini, melalui Kuasa Hukumnya M. Mahendradatta, S.H., M.A., M.H., PhD, menyatakan memiliki syarat-syarat konstitusionalitas yang berbeda sebagai alasan permohonan.
Dalam persidangan ini, Ketua Majelis Panel Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LLM. mempertanyakan kejelasan keterkaitan antara ketentuan Pasal 43 ayat (2) tersebut dengan kerugian-kerugian konstitusional yang dialami Pemohon. Dalam permohonan ini, yang tergambar adalah adanya kekhawatiran atau ketakutan Pemohon. Padahal, kita (MK) tidak boleh mengadili ketakutan melainkan apa sajakah hak-hak konstitusional Pemohon yang dilanggar dengan adanya ketentuan ini, jelas Natabaya.
Tambah Natabaya, Pemohon seharusnya juga mengetahui bahwa UU Pengadilan HAM sebenarnya beranalogi dengan International Tribunal tentang HAM berat yang pembentukannya direkomendasikan oleh Dewan Keamanan. Selain itu, dalam permohonan ini, Pemohon juga belum menjelaskan tentang asas nebis in idem, mengingat Pemohon telah dituntut dan menjalani hukuman atas kasus yang sama, papar Natabaya.
Terhadap masukan-masukan tersebut, Pemohon yang diwakili Kuasa Hukumnya menyatakan menerima dan akan memasukkannya dalam perbaikan permohonan.
Sebelum menutup persidangan, Ketua Majelis Hakim Panel memberi waktu bagi Pemohon untuk memperbaiki permohonannya, selambat-lambatnya dalam masa 14 hari kerja. (Wiwik Budi Wasito)