Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHP Kada) Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua, Kamis (4/2). Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan dari tujuh personil kepolisian setempat dan juga pengecekan formulir C-1 Plano.
Namun, dalam sidang perkara Nomor 24/PHP.BUP-XIV/2016, agenda mendengar keterangan dari kepolisian via video conference tak jadi dilakukan. Sebab, mereka tak mendapatkan surat ijin dari Kapolda Papua. Hal tersebut memicu perdebatan hukum di persidangan.
Kuasa Hukum Pemohon Yusril Ihza Mahendra tak sepakat dengan hal tersebut. Kepada majelis panel yang dipimpin Ketua MK, Arief Hidayat, dia bertanya apa dasar hukum seseorang wajib memiliki izin dahulu sebelum bersaksi di pengadilan. Arief lantas menjawab hal tersebut sudah menjadi kesepakatan bersama Bawaslu.
“Boleh saja Panwas dan sebagainya termasuk anggota Polri memberikan keterangan di persidangan. Syaratnya harus mendapatkan izin dulu dari atasannya,” ujarnya didampingi Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Manahan Sitompul.
Mendengar jawaban tersebut, Yusril lantas mengeluarkan kembali argumentasi hukumnya. Dia menyatakan hal tersebut tak sesuai sistem hukum Indonesia. Menurutnya, kesepakatan-kesepakatan seperti itu tidak dikenal dalam hukum di Indonesia.
“Yang terpenting, memberikan keterangan bagi saksi adalah kewajiban. Tanpa atau dengan izin atasan, nilai dari kesaksian seseorang tetap memiliki nilai di persidangan,” kata Yusril menjelaskan.
Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menjawab argumen hukum dari Yusril. Palguna menyatakan definisi tentang saksi telah diatur di Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK). Berdasarkan PMK, anggota polisi tak tergolong sebagai saksi.
“Status mereka sebatas pemberi keterangan semata. Sebab dalam konteks pilkada mereka bertindak bukan atas dasar perseorangan, namun patuh pada instruksi atasan,” kata dia. Yusril pun lantas menerimanya argumen tersebut.
Pemeriksaan C-1 Plano
Dalam kesempatan yang sama, Majelis Hakim juga memeriksa formulir rekapitulasi suara di TPS (formulir C-1 Plano) di muka persidangan. Tujuannya untuk mengecek kesamaan antara C-1 yang dipegang masing masing pihak dengan C-1 Plano yang ada. Pemeriksaan tersebut ditujukan pada 10 TPS yakni 1 TPS di Keluarahan/Desa Biri, 1 TPS di Kelurahan/Desa Wakeyadi, 3 TPS di Kelurahan/Desa Tayai, 2 TPS di Kelurahan/Desa Bareri dan 3 TPS di Kelurahan/Desa Fona.
Kuasa Hukum Pihak Pemohon, Yance Salambauw, memprotes tidak samanya bentuk tanda tangan oleh anggota KPPS di formulir C-1. “Jadi, kalau berbicara soal angka suara, kami yakin pasti sama karena dokumennya yang sama. Namun bentuk tanda tangan yang berbeda ini menjadi tanya tanya apa ada unsur pemalsuan atau tidak,” jelasnya.
Menanggapi hal tersebut, Kuasa Hukum Pihak Termohon Pieter Ell melakukan sanggahan. Peter menyebut kualitas pendidikan dan SDM di sana belum tinggi. Sehingga wajar ada perbedaan bentuk tanda tangan.
Arief pun menengahi perdebatan hukum tersebut. Dirinya mempersilakan tanggapan terkait hal tersebut bisa dituangkan dalam kesimpulan. “Saya persilahkan kepada kedua pihak untuk menuangkan pendangan terkait masalah ini dalam kesimpulan. Bisa diserahkan pada Selasa depan pukul 14.00,” jelasnya. (Arif Satriantoro/lul)