Sidang lanjutan Perkara Nomor 100/PHP.BUP-XIV/2016 Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHP Kada) Kabupaten Kepulauan Sula yang dipimpin Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat diwarnai dengan saling mengadu keterangan ahli yang dihadirkan para pihak. Baik Pemohon maupun Pihak Terkait menghadirkan ahli untuk memperkuat dalil masing-masing di hadapan Majelis Panel Hakim Konstitusi.
Mantan anggota KPU I Gusti Putu Artha selaku Ahli Pemohon menjelaskan tiga isu sentral yang menentukan bersih tidaknya hasil rekapitulasi penghitungan suara.
“Pertama soal sertifikat formulir C-1, kedua soal formulir C-6, dan ketiga soal DPTb2 yang dinilai cukup besar,” jelas Putu Artha yang menyandang gelar Magister dari Universitas Udayana di Ruang Sidang Panel 1 MK, Selasa (2/2).
Dikatakan Putu Artha, mutu anggota KPPS yang rendah dan bimbingan teknis yang kurang berkualitas menyebabkan pengisian berita acara, sertifikat, dan lampiran formulir C-1 sering tidak utuh dan keliru. Di pihak lain, saksi pasangan calon juga tidak memilliki kapasitas-kapasitas untuk melakukan kontrol di TPS atas pengisian formulir tersebut karena tidak memiliki pemahaman yang memadai.
“Itulah sebabnya, mekanisme rekapitulasi di jenjang PPK seharusnya menjadi penting untuk mengoreksi dan menjelaskannya, sehingga tidak perlu melanjutkan kasus ini ke Mahkamah Konstitusi. Jika hanya sekadar sertifikat itu salah hitung, salah tempat segala macam silakan selesaikan di PPK,” ucap Putu yang dihadirkan Pasangan Calon Safi Pauwah dan Faruk Bahanan selaku Pemohon.
Hal lain yang hampir menjadi masalah di semua daerah yang menggelar pemilihan pada tahun ini adalah terkait distribusi formulir C-6 atau undangan pemilih. Dia mencontohkan kasus di Kabupaten Karawang, sebanyak 38 formulir C-6 ditemukan di tempat sampah. “Sedangkan di Denpasar, enam orang ditangkap karena menggunakan C-6 milik orang lain. Di Karangasem, petugas KPPS dipecat karena membawa baju kaos mengampanyekan pasangan calon lain sambil membagikan C-6,” papar Putu.
Fakta tersebut, ungkap Putu, menegaskan bahwa distribusi formulir C-6 rawan disalahgunakan dan berimplikasi menguntungkan atau merugikan pasangan calon tertentu. Apapun motifnya, kata Putu, jika formulir C-6 tidak terdistribusi, maka menjadi parameter penyelenggara di level bawah tidak profesional dan persoalan menjadi serius. Hal tersebut, jelasnya, akan berpengaruh pada hasil akhir pemilihan yang berselisih tipis, seperti yang terjadi di Kabupaten Kepulauan Sula.
“Jika tidak ada surat pemberitahuan memang betul bisa datang ke TPS membawa KTP, KK, paspor maupun identitas lain untuk menggunakan haknya. Namun, fakta pula di sejumlah daerah dan komunitas, informasi tersebut kurang tersosialisasi tanpa diberitahukan surat pemberitahuan mereka malu dan enggan memilih,” urai Putu.
Selanjutnya Putu menanggapi soal Daftar Pemilih Tetap Tambahan 2 (DPTb 2), bahwa KPU mewajibkan KTP sebagai syaratnya. “Soal penggunaan KTP atau identitas lain pada DPTb-2 juga mengundang sejumlah tanda tanya. Dengan proses pemutakhiran daftar pemilih tetap yang dilakukan berulang kali tiap hajatan demokrasi, ditambah lagi dibukanya kran pencatatan pemilih tambahan jadi sampai tiga kali ada DPT, DPTb-1 dan DPTb-2, seharusnya penggunaan KTP di tiap-tiap TPS menunjukkan angka yang relatif sedikit,” urai Putu.
Tidak Berpengaruh
Sementara itu, Saldi Isra sebagai ahli pihak terkait, menanggapi dalil Pemohon mengenai adanya pengurangan suara oleh Paslon Nomor Urut 2 Hendrata Thes dan Zulfahri Abdullah (Pihak Terkait). “Jika pun misalnya dalil Pemohon terbukti terjadi pengurangan suara Pemohon akibat kelalaian penyelenggara, hal itu pun tidak signifikan mengubah hasil perolehan suara dalam Pilkada Kabupaten Kepulauan Sula. Sehingga tidak akan mengubah posisi suara pasangan calon yang telah ditetapkan Termohon sebagai peraih suara terbanyak,” urai Saldi.
Hal lainnya, Saldi menegaskan hak memilih dan dipilih sebagai hak konstitusional warga negara. Di satu pihak, pemilu atau pilkada sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat. Di pihak lain, menuntut untuk dipenuhinya dua kualitas berbeda secara bersamaan. Dua kualitas tersebut, menurut Saldi, adalah kualitas administrasi pemilu atau pilkada yang profesional, serta kualitas pelayanan terhadap pemenuhan hak konstitusional setiap warga negara yang telah memiliki hak pilih.
“Keduanya harus sama-sama dipenuhi. Namun, ketika dalam pelaksanaan terjadi benturan antara keduanya, maka pemenuhan kualitas kedua yang harus diutamakan. Sedangkan kualitas pertama mesti dinomorduakan. Sebagai sarana pelaksana kedaulatan rakyat, esensi dari sebuah proses pemilu atau pilkada adalah terpenuhinya hak setiap warga negara,” kata Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas itu.
Soal Kotak Suara
Dalam persidangan yang sama, Ketua KPU Kabupaten Kepulauan Sula, Bustamin Sanaba, menjelaskan telah membuka kotak suara, dengan melakukan koordinasi dengan KPU Pusat dan KPU Provinsi. Sesudah kotak itu dibuka, jelasnya, memang ada beberapa yang tidak ada dokumennya, misalnya di Kecamatan Mauari Tengah dan Kecamatan Sanana.
“Bukan berarti kosong sama sekali, tetapi di dalamnya ada surat suara dan beberapa dokumen penting, misalnya C-1 Plano. Kami sudah menginstruksikan untuk C-1 Plano dan C-1 berhologram dimasukkan kedalam kotak PPK. Itu sudah kami amankan untuk persiapan menghadapi sidang di MK, Yang Mulia,” kata Bustamin.
Terhadap dokumen-dokumen penting dalam kotak suara itu, Ketua Panel Arief Hidayat meminta KPU Kepulauan Sula agar membawanya ke MK sebagai alat bukti. “Jadi kita minta tolong dokumen-dokumen yang merupakan bukti-bukti hal tersebut bisa dihadirkan di Mahkamah, akan kita check begitu. Bagaimana? Bisa enggak dihadirkan?” tanya Arief.
Bustamin menjelaskan kepada Majelis Hakim, semua bukti itu ada di hotel tempat ia menginap. “Oh, sudah ada di hotel semua? Baik, kalau begitu, besok dihadirkan ya, Kita akan tunda persidangan ini untuk melihat dokumen-dokumen itu. Baik. Tapi kita akan melanjutkan dengan pemeriksaan saksi, besok kita crosscheck dokumen-dokumen itu,” ujar Arief. (Nano Tresna Arfana/lul)