Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHP Kada) Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat, Selasa (2/2). Agenda sidang yakni mendengarkan keterangan ahli, saksi pihak pemohon, termohon dan pihak terkait.
Dalam fakta persidangan, masalah formulir C-6 atau blanko undangan memilih bagi warga menjadi bahasan utama. Saksi yang dihadirkan Pemohon Paslon Khairunas dan Edi Susanto, memperkuat dalil Pemohon yang menyatakan di beberapa nagari (desa, red) banyak yang belum mendapatkan formulir C-6. Hal tersebut menyebabkan banyak pemilih yang akhirnya tak dapat memakai hak pilihnya.
Saksi Pihak Pemohon, Abu Dawar, menyebut dirinya melihat sejumlah formulir C-6 yang tertinggal di mobil miliknya. Dia menduga formulir tersebut milik Ketua PPS Nagari Talao Darminto yang seharusnya dibagikan kepada pemilih. “Pada 8 Desember 2015, saya bersamanya dan juga aparat Kapolpos dan Koramil berkeliling memantau persiapan seluruh TPS menggunakan mobil saya,” ujarnya memberikan keterangan dalam sidang Perkara Nomor 72/PHP.BUP/XIV/2016, Selasa (2/2).
Mendengar keterangan Dawar, Ketua MK Arief Hidayat selaku pemimpin sidang panel 1 langsung melakukan teguran, yakni dalam persidangan tak boleh melakukan asumsi. Saksi, ujarnya, harus memberi keterangan berdasar apa yang didengar dan diketahu secara persis. Asumsi maupun pendapat adalah hal yang hanya bisa dilakukan oleh ahli dalam persidangan.
Selain itu, Arief juga menanyakan beberapa hal lain terkait formulir C-6 yang belum didistribusikan pada pemilih. “Berapa jumlah formulir C6 yang ditemukan di mobil milik anda?”
Dawar pun menyebut ada sekitar 500 lembar formulir C-6 yang dia temukan. Namun, karena dimainkan anaknya, akhirnya tersisa hanya 178 lembar formulir C-6. Dia menyatakan tidak didistribusikannya formulir C-6 membuat warga akhirnya tak memakai hak pilihnya. Sebab, warga tak mengetahui jika formulir C-6 dapat diganti oleh penggunaan KTP ketika memilih.
Sementara itu, ahli yang dihadirkan Pemohon, I Gusti Putu Artha, menyatakan perlu pendalaman motif terkait formulir C-6 yang tak terdistribusi secara sempurna. Motif yang mungkin terjadi, menurutnya, dapat karena alasan teknis atau alasan politis.
“Maksudnya sisi politis adalah memanfaatkan ketidaktahuan rakyat tentang penggunaan KTP yang dapat menggantikan formulir C-6. Sehingga, ini membuat hak pilih mereka hilang hingga membuat salah satu pasangan menjadi diuntungkan,” ujarnya. Namun, kata dia, jika alasannya karena masalah teknis, artinya penyelenggara pemilu setempat tak profesional.
Sosialisasi Optimal
Menanggapi hal tersebut, saksi dari KPU Kabupaten Solok Selatan (Termohon), Nila Puspita, menyatakan sosialisasi bagi pemilih sudah dilakukan secara optimal. Anggota Divisi Logistik KPUD Solok Selatan itu menyebut sudah ada tahapan sosialisasi hingga tingkat kecamatan. Jadi, idealnya warga tahu tentang KTP dapat menggantikan penggunaan formulir C6 saat momen pencoblosan.
Dia pun menjelaskan sudah memberikan waktu bagi pada warga dari tanggal 6 hingga 8 Desember jika belum mendapat formulir C-6. “Sejauh ini dari PPK ke KPU tak ada laporan atau protes dari penduduk sama sekali,” ujarnya dalam persidangan.
Terkait tuduhan C6 yang tak semuanya sampai ke warga, Nila mengemukakan beberapa alasannya, antara lain penerima C6 meninggal, pindah domisili, dan kemudian ada yang ganda. Lainnya, imbuh dia, terkendala daerah para pemilih.
“Misal di daerah Sangir Balai Janggo yang merupakan lahan perkebunan. Jadi, di situ ada namanya pekerja musiman dan pendistrubusian C-6 menjadi sulit,” kata dia menjelaskan. (Arif Satriantoro/lul)