Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perkara Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Kabupaten Mamberamo Raya di Ruang Sidang Panel 1, Senin (1/2). Agenda dari persidangan adalah mendengar keterangan ahli dan saksi dari pihak Pemohon, Termohon dan Pihak Terkait.
Saksi yang dihadirkan Pemohon, Tinus Weya, menuturkan adanya keterlibatan anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dalam mencoblos surat suara yang merupakan hak pilih orang lain yang terjadi di TPS 1 Kampung Bareri. Kecurangan tersebut, menurutnya, memberikan keuntungan bagi Pasangan Calon Nomor Urut 3 Dorinus Dasinapa dan Yakobus Britai (Pihak Terkait).
Ia mengaku telah melihat anggota KPPS Alivia Shahosa dan Charles Shahosa ikut melakukan pencoblosan. Pencoblosan tersebut juga dilakukan bersama dengan Saksi Paslon Nomor Urut 3 Konstanti Woli. “Ketika itu saya langsung protes secara lisan,” ujarnya dalam keterangan di persidangan Perkara Nomor 24/PHP.BUP-XIV/2016 yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat.
Melihat kejadian tersebut, Tinus mengaku berniat mengabadikannya melalui kamera handphone miliknya. Namun ia mendapatkan ancaman dari mereka. “Saya proses, baru saya mau ambil foto diancam, ‘Kau, kau bukan orang di sini. Ini kita berhak’. Dia bilang,” imbuh Tinus.
Tinus menyatakan perolehan suara di TPS Kampung Bareri dimenangkan oleh Paslon Nomor Urut 3 dengan 143 suara. Adapun Paslon Nomor Urut 2 Demianus Kyeuw Kyeuw dan Adiryanus Manemi (Pemohon) memperoleh 31 suara. Sedangkan Paslon Nomor Urut 1 Rob Wilson Rumansara dan Yahya Fruara mendapat 0 suara.
Menanggapi keterangan Tinus, Arief menanyakan apakah ia tidak melaporkan hal tersebut pada polisi yang berjaga. Tinus menyatakan dirinya merasa takut untuk melapor pada polisi. Selain itu, posisinya berada di dalam TPS, sedangkan posisi polisi yang berjaga berada di luar TPS.
Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna juga turut bertanya pada Tinus. “Handphone milik anda diambil oleh mereka tidak saat ingin mengabadikan kecurangan tersebut?” ujarnya mengajukan pertanyaan.
Tinus menyebut handphone miliknya tidak direbut oleh mereka. Setelah kejadian itu, dirinya langsung melaporkan kepada kordinator tim sukses. Tapi dia mengaku tak tahu apakah laporannya sudah dilaporkan secara pidana ke penegak hukum atau belum.
Hak Individual
Dalam persidangan yang sama, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate Margarito Kamis menuturkan, tidak satu pun ketentuan dalam tatanan hukum pemilihan kepala daerah yang menyatakan hak memilih sebagai hak memberi suara kolektif. “Hak memilih yang dalam esensinya merupakan pernyataan kehendak sepenuhnya secara konstitusional berstatus sebagai hak individual,” tegasnya.
Ia menjelaskan, apabila Komisioner KPU, panwaslih, panwascam, PPK, PPS, atau pihak manapun yang diam-diam atau terang-terangan menggunakan hak pilih seseorang, atau beberapa orang pemilih, dengan cara menyoblos surat suara yang disediakan di TPS, hal tersebut termasuk tindakan melawan hukum. “Maka bisa didiskualifikasi hasilnya,” kata Margarito sebagai ahli yang dihadirkan Pemohon.
Menyikapi paparan Margarito, Arief menanyakan apakah pelanggaran tersebut sudah dilaporkan dan ditanggapi Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) terkait. “Jangan sampai jatuh pada dugaan dugaan semata tanpa bukti yang kuat,” ujarnya.
Merespons hal tersebut, Margarito menyatakan ada tiga poin yang harus dipahami. Pertama yakni realita hukum, laporan ke Gakkumdu sudah dilakukan tetapi tak ada kelanjutan yang jelas. Kedua, dalam lingkungan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, panwas kecamatan dan PPL belum menjalankan fungsinya secara optimal. Lalu ketiga, proses dalam hukum acara pidana memakan waktu yang tidak sebentar.
“Intinya dengan tak adanya laporan pada Panwas Kabupaten Memberano Raya atau tak adanya laporan pidana tak otomatis menggugurkan gugatan kami di MK. Karena itu, bagi saya Mahkamah berwenang menyatakan hukum atas peristiwa ini,” jelasnya. (Arif Satriantoro/lul)