Ahli hukum administrasi Universitas Binus Dr. Besar, S.H., M.H., memaparkan sebagian besar masyarakat Indonesia masih menganggap formulir model C-6 sebagai undangan untuk memilih, bukan pemberitahuan. Menurutnya, pembagian formulir C-6 yang tidak merata kepada calon pemilih merupakan kegagalan KPU sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah.
“Secara sosiologis, masyarakat kita masih berpendapat bahwa kartu C-6 itu adalah sebagai undangan yang harus mereka dapatkan terlebih dahulu agar mereka dapat hadir di tempat pemungutan suara. Jika kartu ini tidak mereka pegang, berarti mereka tidak diundang. Anggapan seperti itu masih kental di masyarakat kita,” tuturnya dalam sidang lanjutan perkara Perselisihan Hasil Pemilhan Kepala Daerah (PHP Kada) Kabupaten Bangka Barat (No. 134/PHP.BUP-XIV/2016) yang digelar di Ruang Sidang Panel 2 Mahkamah Konstitusi, Senin (1/2).
Dalam sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman, ahli yang dihadirkan Pemohon tersebut mengaitkan tidak terdistribusinya formulir C-6 dengan teori inner morality law yang dikemukakan Fuller, yakni hukum positif wajib sejalan dengan moralitas yang terdalam. Oleh karena itu, Besar mempertanyakan moralitas pihak yang tidak membagikan secara merata formulir C-6 tersebut.
“Intinya, praktik tidak terdistribusinya secara merata kartu C-6 tidak boleh dianggap sebagai hal yang sederhana dalam sebuah proses pemilihan kepala daerah. Terlebih, Bangka Barat bukanlah medan yang punya kesulitan tinggi untuk pendistribusian formulir C-6. Jadi hal tersebut merupakan pelanggaran inner morality law. Bahkan menciderai proses Pilkada di Bangka Barat,” tegasnya.
Kegagalan Termohon dalam menjalankan tugasnya, imbuh Besar, juga tampak dari informasi adanya pemilih yang tidak terdapat di DPT, namun dapat ikut memilih. Selain itu, adanya pemindahan TPS yang semula sudah diinformasikan lokasinya kepada para calon pemilih, tetapi kemudian dialihkan ke tempat lain sehingga ada calon pemilih yang kemudian memutuskan untuk tidak jadi menggunakan hak pilihnya.
“Saya berpendapat sangat adil dan bijaksana apabila Majelis Mahkamah Konstitusi yang terhormat mengabulkan permintaan Pemohon yang berharap khususnya TPS-TPS yang diajukan oleh Pemohon dapat dilakukan pemilihan ulang. Semata-mata hal ini demi menjaga agar moralitas aspirasi dari warga negara dapat terjaga dan kembali,” ujar Besar yang dihadirkan sebagai ahli Pemohon, Pasangan Calon Sukirman dan Safri.
Menanggapi keterangan Besar, Hakim Konstitusi Marida Farida Indrati menanyakan ahli apakah pemilih yang tidak mendapatkan formulir C-6 mempertanyakan hal tersebut kepada penyelenggara. Menjawabnya, Besar mengatakan, kendati ada pemilih yang bertanya, penyelenggara seringkali tidak memberikan jawaban yang tepat. “Ada beberapa di TPS yang orang datang sudah dengan sukarela karena dia merasa punya hak untuk untuk mencoblos, namun begitu datang tanya oleh petugas dikatakan, ‘Aduh, tidak tahu, Bu, ya, tidak tahu, Pak, ya, coba tanya ke PPS’,” ujarnya.
Sementara, Amah, Siti Rosidah dan Winarni selaku saksi yang dihadirkan Pemohon, menerangkan persoalan yang sama yaitu tidak mendapatkan formulir C-6 saat pilkada di Kabupaten Bangka Barat. “Saya sendiri tidak tahu kenapa tidak dapat formulir C-6. Tapi saya juga tidak mencoba pakai KTP untuk ikut nyoblos,” kata Winarni warga Desa Kelapa, Kecamatan Kelapa, Kabupaten Bangka Barat.
Lain lagi dengan pengakuan Sulaeman yang juga saksi Pemohon. Dia mendapatkan info dari kerabatnya bahwa ada 81 formulir C-6 yang tidak terbagi. “Tapi saya tidak tahu persisnya daerah mana saja yang tidak mendapat 81 formulir C-6 tersebut,” kata Sulaeman, warga Belolaut.
Sedangkan Herno Kasino sebagai anggota PPS Desa Puput, Kecamatan Pari selaku saksi Termohon mengatakan ia ikut memilih saat Pilkada Bangka Barat. Herno menerangkan soal pemilih yang tidak dapat formulir C-6.
“Sejumlah C-6 yang tidak sampaikan bukanlah kesengajaan dari Ketua KPPS TPS 1, Bapak Agus Sufajar, ketua KPPS TPS 3, Bapak Domisianus, dan Ketua KPPS TPS 11, Bapak Kelvin Agustinus. Hal ini berdasarkan Berita Acara penyampaian Formulir C6 ke pemilih yang telah dibuat oleh Ketua KPPS TPS 1, Ketua KPPS TPS 3, dan ketua KPPS TPS 11 Desa Puput pada 8 Desember 2015,” papar Herno.
Sebelumnya, Pemohon mendalilkan maraknya politik uang oleh Pasangan Calon Nomor Urut 2 Parhan Ali dan Markus selaku Pihak Terkait yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif. Termasuk juga tidak dibagikannya 536 lembar formulir C-6 oleh penyelenggara pilkada kepada pemilih yang berhak. Hal tersebut, menurut Pemohon, berakibat cacat hukumnya proses pemungutan suara di sejumlah TPS Desa Kelapa, Kabupaten Bangka Barat. Oleh karena itu, menurut Pemohon, beralasan hukum bahwa perlu dilakukan pemungutan suara ulang di TPS-TPS itu. (Nano Tresna Arfana/Ilham Wiryadi/lul)