Jakarta - Mahkamah Konstitusi tetap konsisten menerapkan Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada dalam memeriksa dan mengadili syarat formal pengajuan sengketa hasil pilkada ke MK.
Pasal ini membatasi gugatan sengketa hasil pemilihan kepala daerah hanya bisa diajukan kalau selisih suara penggugat dengan pemenang Pilkada maksimum 2%.
Bahkan MK juga menerapkan PMK Nomor 1 dan Nomor 5 Tahun 2015 terkait perhitungan selisi perolehan suara dalam sengketa pilkada.
Pada umumnya, pemohon yang mengajukan sengketa ke MK berpandangan MK seharusnya tidak terkekang oleh Pasal 158 UU Pilkada demi menegakkan keadilan substansi. Pasalnya, beberapa pemohon menilai banyak laporan yang tidak ditindaklanjuti oleh KPU, Panwas/Bawaslu di suluruh jajarannya, demikian pula laporan tindak pidana juga tidak terselesaikan sehingga MK menjadi tumpuan harapan para pemohon.
Di lain pihak, Termohon dan Terkait berpendapat antara lain bahwa Pasal 158 UU Pilkada merupakan UU yang masih berlaku dan mengikat seluruh rakyat Indonesia, tidak terkecuali MK sehingga dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenangannya haruslah berpedoman pada UUD 1945 dan UU yang masih berlaku.
Meski Pasal 158 menuai kritik dari sejumlah pihak, Mahkamah Konstitusi (MK) tetap konsisten dengan Pasal 158. Mahkamah berpendapat bahwa pengaturan pilkada kali ini berbeda dengan pengaturan pilkada sebelumnya, di mana pengaturan pilkada sekarang ditentukan batas-batas tegas pelaksanaan kewenangan a quo.
“Salah satu perbedaannya adalah jika pemilihan kepala daerah sebelumnya digolongkan sebagai rezim Pemilu, Pilkada berdasarkan UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota bukan merupakan rezim pemilihan umum,” kata Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dalam pembacaan putusan sengketa di Gedung MK, Jakarta, Kamis (21/1).
Menurut Palguna, perbedaan ini bukan hanya dari segi istilah, melainkan meliputi perbedaan konsepsi yang menimbulkan perbedaan konsekuensi hukum. Terutama bagi mahkamah dalam memutus hasil perselisihan pilkada.
Palguna mengatakan ketika pilkada sebagai rezim Pemilu, Mahkamah memiliki keleluasaan melaksanakan kewenangan konstitusinya, yakni tunduk pada ketentuan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keleluasaan ini yang melahirkan putusan mahkamah yang dipandang mengandung dimensi terobosan hukum.
“Atas dasar itulah, putusan Mahkamah pada masa lalu dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah tidak hanya meliputi perselisihan hasil, melainkan mencakup pula pelanggaran dalam proses pemilihan untuk mencapai hasil yang dikenal dengan pelanggaran bersifat terstruktur, sistematis, dan massif,” katanya.
Akan tetapi pada pilkada kali ini, kata Palguna, selain bukan rejim pemilu, UU Pilkada membatasi kewenangan a quo yakni hanya memeriksa dan mengadili perkara perselisihan penetapan perolehan suara. Selain itu terdapat syarat kumulatif yang harus dipenuhi pasangan calon seperti tenggang waktu pengajuan, pihak-pihak yang mengajukan, serta adanya ketentuan persentase perbedaan perolehan suara.
“Tidak terdapat pilihan lain selain Mahkamah harus tunduk pada ketentuan yang secara expressis verbis digariskan dalam UU Pilakda. Lagi pula Putusan Mahkamah No 51 /PUU-XIII/2015 tertanggal 9 Juli, menyatakan pasal 158 sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk UU,” jelas dia.
Dikatakan juga kewenangan Mahkamah a quo merupakan kewenangan yang bersifat non-permanen dan transisional sampai dibentuknya peradilan khusus. Takkala "badan peradilan khusus" nantinya resmi dibentuk, seketika itu kewenangan Mahkamah harus ditanggalkan. Selain itu, kewenangan Mahkamah memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hasil pilkada hanya kewenangan tambahan.
"Jika MK melanggar Pasal 158 UU Pilkada dan Pasal 6 PMK 1 dan PMK 6 tahun 2015, berarti melanggar UU yang bertentangan dengan prinsip Negara Hukum Indonesia, menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan serta menuntun hakim konstitusi melakukan tindakan melanggar sumpah jabatan serta kode etik hakim konstitusi," terang Palguna.
Dengan melaksanakan Pasal 158 UU Pilkada dan aturan turunannya secara konsisten, maka Mahkamah turut ambil bagian dalam upaya mendorong agar lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses pilkada berperan dan berfungsi secara optimal sesuai dengan proporsi kewenangan di masing-masing tingkatan.
Palguna juga membantah bahwa MK hanya menjadi corong UU jika hanya melaksanakan Pasal 158 UU Pilkada. Konsistensi MK, katanya agar terwujud kepastian hukum.
"Mahkamah juga tidak mengabaikan tuntutan keadilan sunbstantif sebab Mahkamah akan tetap melakukan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap perkara yang telah memenuhi persyaratan tenggang waktu, kedudukan hukum, obyek pemohonan, serta jumlah persentase selisi perolehan suara antara pemohon dengan pihak terkait," pungkas Palguna.
Sumber: http://www.beritasatu.com/nasional/343607-alasan-mk-pertahankan-pasal-158-uu-pilkada.html