Sebanyak 26 perkara perselisihan hasil pemilihan (PHP) gubernur, bupati, dan walikota telah diputus Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (22/1). Seluruh perkara tersebut dinyatakan tidak diterima oleh Mahkamah karena tidak memenuhi syarat persentase selisih suara maksimal antara pemohon dengan peraih suara terbanyak. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 158 UU Nomor 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, yang kemudian dituangkan dalam Pasal 6 Peraturan MK No. 1-5/2015.
Tunduknya Mahkamah terhadap ketentuan yang tertuang dalam UU No. 8/2015 karena terdapat perbedaan mendasar antara pengaturan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota secara serentak berdasarkan UU No. 8/2015 dengan pengaturan pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan sebelumnya.
“Salah satu perbedaannya adalah pemilihan kepala daerah sebelumnya digolongkan sebagai bagian dari rezim pemilu, pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan berdasarkan UU No. 8/2015 bukan merupakan rezim pemilu,” papar Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna membacakan kutipan putusan.
Perbedaan tersebut, imbuh Palguna, menimbulkan konsekuensi hukum bagi Mahkamah dalam melaksanakan kewenangan memutus PHP kada. Sebelumnya, pemilihan kepala daerah merupakan rezim pemilu, sehingga penyelesaian PHP kada merupakan kewenangan konstitusional Mahkamah sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
“Sebagai pengawal UUD, Mahkamah memiliki keleluasaan dalam melaksanakan kewenangan konstitusionalnya. Keleluasaan inilah yang antara lain melahirkan putusan-putusan Mahkamah dalam perkara PHP kada pada kurun waktu 2008-2014 yang mengandung dimensi terobosan hukum. Putusan kala itu tidak hanya meliputi perselisihan hasil, melainkan mencakup pelanggaran dalam proses pemilihan yang dikenal dengan pelanggaran bersifat terstruktur, sistematis, dan masif,” jelasnya.
Sedangkan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota secara serentak berdasarkan ketentuan UU No. 8/2015, bukan merupakan rezim pemilu. Hal tersebut termaktub dalam Putusan Mahkamah Nomor 97/PUU-XIII/2013. Oleh karena itu, penyelesaian PHP kada saat ini bukan merupakan kewenangan konstitusional Mahkamah, melainkan kewenangan tambahan yang dialirkan dari Pasal 157 ayat (3) UU 8/2015, yang menyatakan, “Perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus”.
“Kewenangan Mahkamah a quo, merupakan kewenangan yang bersifat non-permanen dan transisional sampai dibentuknya badan peradilan khusus. Tatlaka badan peradilan khusus resmi dibentuk, seketika itu pula kewenangan Mahkamah a quoharus ditanggalkan,” imbuh Palguna.
Berdasarkan pemaknaan dalam kerangka hukum tersebut, menurut Mahkamah, dalam melaksanakan kewenangan tambahan itu, Mahkamah tunduk sepenuhnya pada ketentuan UU No. 8/2015 sebagai sumber dan dasar kewenangan tersebut. Mahkamah juga menegaskan, pelaksanaan kewenangan tersebut bukan berarti Mahkamah telah didegradasi dari hakikat keberadaannya sebagai organ konstitusi pengawal UUD menjadi sekadar organ pelaksana undang-undang belaka.
“Mahkamah tetaplah organ konstitusi pengawal Undang-Undang Dasar 1945, akan tetapi sedang diserahi kewenangan tambahan yang bersifat transisional untuk melaksanakan amanat undang-undang. Pelaksanaan kewenangan dimaksud tidaklah berarti bertentangan dengan hakikat keberadaan Mahkamah, bahkan justru amat sejalan dengan kewajiban Mahkamah sebagaimana sumpah yang telah diucapkan sebelum memangku jabatan sebagai hakim konstitusi,” jelas Palguna. (Lulu Hanifah)