Perkawinan dalam Islam merupakan sebuah ikatan suci yang dinyatakan sah setelah terucapkannya ijab dan kabul, baik itu pada pernikahan yang pertama maupun kedua, ketiga, dan keempat. Ia juga merupakan suatu bentuk ibadah yang dianjurkan oleh agama.
Pendapat tersebut disampaikan oleh M. Insa, SH., seorang wiraswastawan asal Bintaro Jaya, Jakarta Selatan, ketika membacakan permohonannya dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (31/5). Insa mengajukan uji materiil terhadap beberapa pasal dalam UU Perkawinan, khususnya yang terkait dengan pembatasan bagi warga negara untuk melakukan perkawinan lebih dari satu (poligami).
Menurut Insa, hadirnya poligami tidak sebatas menjadi pintu darurat bagi seorang laki-laki yang ditakdirkan memiliki hasrat sangat tinggi. Poligami juga merupakan solusi yang disediakan oleh agama bagi manusia agar tidak terjadi perzinahan. Oleh karena itu, poligami menjadi sebuah ibadah yang kedudukannya dalam hukum Islam bisa menjadi sunnah atau bahkan wajib, bergantung pada kasus dan kondisi yang melatarbelakanginya. Dengan demikian, segala upaya yang dilakukan dengan tujuan membatasi poligami, bisa diartikan sebagai tindakan untuk menghalangi seseorang untuk menjalankan ibadah sesuai dengan hukum Islam.
Keberadaan pasal-pasal yang membatasi setiap orang untuk melakukan poligami pada UU Perkawinan, lanjut Insa, telah mengurangi hak beribadah seorang warga negara. Dan hal tersebut dapat digolongkan sebagai pelanggaran HAM berat. Karena kebebasan beribadah merupakan hak asasi yang keberadaannya dijamin oleh UUD 1945, tegasnya.
Insa mengajukan permohonan uji materiil atas Pasal 3 Ayat (1) dan ayat (2), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 5 ayat (1), Pasal 9, Pasal 15, dan Pasal 24 UU Perkawinan yang mengatur mengenai syarat-syarat bagi seseorang agar dapat melakukan perkawinan poligami. Ia menganggap pasal-pasal dalam UU Perkawinan tersebut telah merugikan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan kebebasan beragama yaitu untuk beribadah dan membentuk keluarga serta melanjutkan keturunan melalui poligami yang sah menurut Hukum Perkawinan Islam yang telah dijamin oleh UUD 1945. Dengan berlakunya pasal-pasal tersebut, apabila seseorang bermaksud melakukan poligami namun tidak memenuhi ketentuan-ketentuan pada UU tersebut, niatnya itu akan terhambat karena tidak akan memperoleh ijin dari pengadilan agama. Tanpa ijin pengadilan agama, petugas pencatat perkawinan tidak akan bersedia mencatatkan perkawinan poligaminya pada Kantor Urusan Agama. Dampaknya, meskipun sah secara hukum Islam, perkawinan tersebut dianggap sebuah perkawinan siri sehingga berbeda akibat hukumnya dalam hal menyangkut masalah waris, hak anak-anak, dll.
Insa menganggap pembatasan poligami merupakan salah satu bentuk diskriminasi negara atas hak warga negara dalam rangka menjalankan ibadah sesuai agama Islam yang dijamin oleh UUD 1945.
Usai mengesahkan bukti-bukti yang diajukan Pemohon, Ketua Panel Hakim Konstitusi Letjen (Purn) H. A. Roestandi, SH., mengatakan akan meneruskan permohonan tersebut kepada rapat pleno permusyawaratan hakim yang memiliki hak untuk memutuskan. (ardli)