Di sela-sela kesibukan menangani perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (PHP kada), Mahkamah Konstitusi masih membuka pintu bagi warga negara yang ingin lebih mengenal lembaga tersebut. Sebanyak 60 orang mahasiswa dan dosen Jurusan Hukum Tata Negara Universitas Mahasaraswati Denpasar, Bali diterima oleh Peneliti MK Fajar Laksono di Ruang Rapat Lantai 11 Gedung MK, Kamis (21/1).
Mengawali paparannya, Fajar menuturkan di usia yang masih terbilang muda, yakni 12 tahun, MK telah memberikan kontribusi yang signifikan kepada negara. Kontribusi tersebut terutama dalam hal penegakan hukum, pembelaan Hak Asasi Manusia, dan pengawalan demokrasi di Indonesia.
“Terlepas dari apa yang pernah terjadi di MK, lembaga ini telah berkontribusi positif terhadap demokrasi di Indonesia, termasuk dalam menyelesaikan sengketa dalam Pilkada,” ujarnya.
Walaupun menangani perkara perselisihan pilkada dan pemilu, Fajar menyatakan hakikat dari kewenangan MK adalah menangani perkara konstitusi, yaitu menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Kewenangan tersebut, menurutnya, pasti dimiliki oleh seluruh MK di dunia. “Sejak MK pertama di dunia, yaitu MK Austria, kewenangan paling utama MK adalah judicial review. Semua MK pasti punya kewenangan itu karena itu hakikat dari kewenangan MK,” jelasnya.
Sejarah MK
Dalam kesempatan tersebut, Fajar juga menjelaskan sejarah MK dan judicial review. Menurutnya, gagasan judicial review sudah dijumpai sejak Mahkamah Agung Amerika Serikat menguji Undang-Undang tentang MA sendiri pada 1803. “Itu adalah awal gagasan awal judicial review dan kemudian diperdebatkan,” ujar Fajar.
Sedangkan gagasan MK sebagai lembaga yang melakukan judicial review muncul beberapa lama setelahnya. Penggagas MK adalah pakar hukum tata negara asal Austria, Hans Kelsen. Gagasan tersebut diadopsi dalam amandemen UUD Austria tahun 1919. “Menurutnya, harus dibentuk sebuah lembaga yang punya otoritas mengawal konstitusi yang terpisah dari MA. Sejak itu, walau menimbulkan pro dan kontra, MK terus berkembang di seluruh dunia. Indonesia juga mengakomodasi gagasan itu,” paparnya.
Menjawab salah satu pertanyaan mahasiswa mengenai kekuatan mengikat putusan MK, Fajar menjelaskan putusan MK berlaku sejak pengucapan putusan secara pleno yang terbuka untuk umum. Kendati demikian, tidak ada sanksi bagi pihak-pihak yang tidak menjalankan putusan MK. “Semua bergantung pada kesadaran masing-masing pihak. Apabila tidak melaksanakan, maka negara tersebut bisa dikatakan belum dewasa berdemokrasi,” ujarnya.
Namun, Fajar optimistis selama proses persidangan dilakukan dengan transparan, maka putusan tersebut akan dijalankan oleh seluruh masyarakat, termasuk oleh DPR dan Pemerintah selaku pembentuk undang-undang. (Lulu Hanifah)