[JAKARTA] Proses pemeriksaan pendahuluan permohonan penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) sudah memasuki tahap akhir.
Pada hari ini, Senin (18/01), Mahkamah Konstitusi (MK) akan melaksanakan sidang dengan agenda membacakan putusan dismissal, apakah permohonan yang masuk dapat dilanjutkan ke proses pemeriksaan persidangan atau tidak.
Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun mengungkapkan tiga catatan penting yang mesti direnungkan lebih dalam oleh hakim konstitusi sebelum mengetukkan palunya hari ini.
Pertama, perbedaan pengggunaan basis penentuan selisih suara antara Pasal 158 UU No 8/2015 dan Peraturan MK No. 5 Tahun 2015 berimplikasi pada semakin sempitnya ruang peserta pilkada untuk mengajukan permohonan kepada MK, termasuk untuk lanjut pada proses pemeriksaan persidangan.
"Bila dibandingkan, perbedaan penentuan selisih suara antara UU Pilkada dan Peraturan MK lebih dari 50%. Artinya, jika persentase dihitung berdasarkan undang-undang, terdapat selisih suara tidak lebih dari 2%, sementara dengan menggunakan Peraturan MK, selisih suara akan berkisar pada angka 4% hingga 5%. Dengan demikian, permohonan yang seharusnya memenuhi syarat berdasarkan Pasal 158 UU 8/2015 akan dinyatakan tidak memenuhi syarat bila dihitung berdasarkan peraturan MK," jelas Refly di Jakarta, Minggu (17/1).
Kedua, dari aspek keadilan bagi setiap peserta pilkada, penentuan selisih berdasarkan total suara sah peraih suara terbanyak tidak tepat.
Sebab, dengan mendasarkan penghitungan selisih dari total suara calon peraih suara terbanyak, suara yang diperoleh calon-calon lainnya jadi tidak diperhitungkan dalam penentuan selisih suara. Padahal, suara mereka merupakan suara sah hasil pemilihan yang harus tetap dihitung dalam menentukan apapun dalam pilkada, termasuk selisih.
"Dalam konteks ini, jika bertahan pada Pasal 6 ayat (3) Peraturan MK No. 5/2015, MK sesungguhnya tengah menegasikan arti dari suara pemilih yang diberikan kepada calon selain yang memperoleh suara terbanyak. Pilihan kembali pada substansi Pasal 158 UU No. 8/2015 jauh lebih baik dan konsisten dalam memosisikan suara pemilih dalam pilkada," kata Refly.
Ketiga, dari aspek bentuk hukum, peraturan MK tentu tidak boleh mengubah substansi UU No. 8/2015 yang mendasari pembentukannya.
Sebagai peraturan pelaksana, peraturan MK hanya diperkenankan mengatur lebih lanjut, bukan mengubah hal yang secara jelas dan tegas telah diatur undang-undang.
"Basis penentuan persentase selisih suara sebagaimana diatur dalam Peraturan MK No. 5/2015 layak ditinjau kembali dalam putusan penyelesaian perselisihan hasil pilkada," ungkap dia.
Karena itu, Refly menganjurkan MK menerobos ambang batas yang diatur Pasal 158 UU Nomor 8/2015 dan PMK Nomor 5/2015 khusus kasus-kasus di mana terjadi pelanggaran Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM).
Sikap ini, kata dia, selain konsisten dengan putusan-putusan MK selama ini yang lebih mengedepankan keadilan substantif ketimbang keadilan prosedural, juga tidak menghapuskan peran MK sebagai penjaga konstitusi atau the guardiant of the constitution dalam setiap kasus yang ditangani.
"Dalam konteks pilkada, MK harus betul-betul menjaga moral konstitusi bahwa pilkada harus dilakukan secara demokratis sebagaimana terungkap dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 serta jujur dan adil sebagaimana terungkap Pasal 22E ayat [1] UUD 1945," kata dia.
"Sebagai penjaga konstitusi, selama ini MK menolak menjadi mahkamah kalkulator, yang mengadili sengketa pilkada hanya didasarkan pada hitungan-hitungan angka belaka, apalagi angka yang sudah dibatasi. Mudah-mudahan sikap itu tercermin pula dalam putusan-putusan MK mulai senin besok," tambah Refly.
Sumber: http://sp.beritasatu.com/home/hakim-mk-perlu-renungkan-tiga-hal-penting-ini/106320