Dengan mendalami kajian tentang konstitusi dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (MK), diharapkan kader Partai Demokrat (PD) dapat turut serta membangun budaya sadar berkonstitusi yang menjadi salah satu tiang dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia, ke depan.
Hal ini disampaikan Anas Urbaningrum, Ketua Panitia dari PD untuk acara Temu Wicara Hukum Acara Mahkamah Konstitusi bagi Kader Partai Demokrat se-Indonesia, yang diselenggarakan di Jakarta, Jumat (25 /05).
Sedangkan dalam sambutannya, Ketua Umum PD H. Hadi Utomo mengatakan bahwa partai politik (parpol) memegang peranan penting dalam kehidupan kenegaraan. Untuk itu, pada kesempatan ini Hadi Utomo mewanti-wanti kadernya untuk benar-benar mengikuti dengan seksama setiap sesi kegiatan temu wicara ini supaya kader PD tak hanya paham bagaimana hukum acara MK terutama perihal penyelesaian sengketa hasil pemilu, tapi juga memahami secara komprehensif UUD 1945 yang telah diamendemen.
Terkait wacana amendemen kelima yang diusung DPD, Hadi Utomo berharap melalui acara ini, akan terjadi pendalaman yang lebih baik lagi tentang substansi UUD 1945. Hasil dari acara ini, semoga bisa menjadi bahan bagi kader partai demokrat untuk bisa menentukan sikapnya, apakah mendukung atau tidak (amendemen kelima), karena ini akan berkaitan dengan masa depan bangsa dan negara, jelasnya.
Sementara itu dalam sambutannya, Ketua MK Prof Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. berharap semoga di tahun 2009 nanti bisa terselenggara pemilu dan termasuk penyelesaian sengketa hasil pemilu, secara lebih baik lagi. Kita tidak bisa main-main dengan pertarungan politik untuk menyalurkan aspirasi rakyat karena jangan sampai masalah-masalah yang timbul dalam pemilu berkembang menjadi konflik politik apalagi konflik sosial. Untuk itu, sejak pagi hari sudah harus disediakan jalan hukum, jalan konstitusi, untuk menyelesaikan segala masalah yang timbul dari pemilu, papar Jimly.
Sebagai wujud kemerdekaan berserikat yang dilindungi di dalam konstitusi, lanjut Jimly, parpol tidak boleh sembarangan dibubarkan, kecuali melalui prosedur peradilan yaitu melalui MK sebagai satu-satunya lembaga yang diizinkan oleh konstitusi untuk membubarkan parpol.
Pilkada masuk rezim Pemilu
Khusus mengenai Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), ungkap Jimly, sekarang sudah ada UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum yang memasukkan pilkada ke dalam rezim pemilu. Artinya, dari sudut pandang konsepsinya, pilkada dan pemilu sudah dianggap sebagai satu kesatuan rezim. Oleh sebab itu, penyelenggaranya sama-sama KPU. Secara utuh, KPU menyelenggarakan pemilu legislatif, eksekutif, pusat dan juga daerah. Ini konsepsi undang-undang tersebut, paparnya.
Sambung Jimly, lahirnya penyatuan rezim pemilu dalam undang-undang tersebut ada kaitannya dengan putusan MK tahun 2005 lalu yang menurut MK dalam putusannya, menganjurkan kepada pembentuk UU untuk memilih sendiri berdasarkan politik hukum tertentu asalkan konsisten, pilkada akan masuk rezim pemilu atau tidak. Bila pilkada termasuk rezim pemilu, ya (berarti) pemilu dengan penyelenggaranya KPU dan penyelesai sengketanya adalah penyelesai sengketa pemilu yaitu MK, ungkapnya.
Berdasarkan UU No. 22 Tahun 2007 tersebut, ada kemungkinan di masa depan, penyelesai sengketa hasil pilkada dipindahkan ke MK. Tapi tentu saja, lanjut Jimly, hal ini tidak otomatis karena dalam undang-undang itu hanya mengatur tentang penyelenggara pemilu dan belum mengatur lembaga penyelesai sengketa pemilu yang hingga saat ini masih diatur dalam undang-undang Pemerintahan Daerah. Jadi hingga saat ini, untuk para penyelenggara dan untuk para peserta pilkada, masih tetap harus menggunakan perundang-undangan yang ada sekarang yaitu tentang pemerintahan daerah dan undang-undang tentang pemilu sejauh menyangkut pilkada dan perselisihan hasil pilkada, urai Jimly. (Wiwik Budi Wasito)