Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. berbincang-bincang dengan wartawan media cetak dan elektronik usai makan siang, Selasa (29/5). Dalam perbincangan yang berlangung santai dan akrab itu, Prof. Jimly mengajak para jurnalis berbagi informasi mengenai kondisi-kondisi terkini yang sedang berkembang terkait masalah kebangsaan.
Tekait perkembangan politik mutakhir, Prof. Jimly menjelaskan bahwa saat ini bangsa Indonesia masih dalam tahap trial and error dalam menjalankan sistem kebangsaan. Indikasinya adalah pembuatan Undang-Undang (UU) mengenai pemilu yang dilakukan setiap lima tahun sekali atau pembuatan UU mengenai susunan dan kedudukan anggota legislatif.
Menurut Prof. Jimly, negara Indonesia berbeda dengan negara-negara yang memiliki sistem hukum yang sudah baku seperti negara-negara Eropa Barat. Meskipun sama-sama menganut sistem hukum civil law, sistem hukum Indonesia yang belum ajeg dan belum tertata rapi menyebabkan labilnya penyelenggaraan negara. Oleh karenanya, dalam jangka panjang perlu adanya pembakuan sistem hukum di Indonesia. Untuk menghindari gejolak-gejolak politik yang tidak perlu, imbuh Prof. Jimly.
Dana Non-Bujeter Pengaruhi Independensi
Sementara itu, ketika dimintai tanggapan mengenai polemik penggunaan dana non bujeter dalam kegiatan-kegiatan politik, Ketua MK memandang perlu adanya aturan yang jelas dan tegas untuk mengatur pertanggungjawaban penggunaan dana kampanye pemilu. Selama ini, aturan yang ada dalam UU Pemilu dan UU Pilpres belum cukup memberi jaminan bagi penggunaan dana kampanye yang lebih transparan. Untuk itu, keberadaan aturan semacam UU mengenai dana kampanye menjadi sangat penting agar sistem pemilu dapat diperbaiki.
Selain itu, tambah Prof. Jimly, penggunaan dana-dana yang bersumber dari luar APBN akan cenderung mempengaruhi independensi suatu instansi, terlebih instansi hukum. Mahkamah Konstitusi berusaha menjadi model bagi instansi lain dengan membudayakan penggunaan anggaran yang berasal dari APBN dalam membiayai setiap kegiatan operasional institusi. Dengan demikian, tidak ada peluang bagi setiap pegawai MK untuk membebani masyarakat dalam memperoleh pelayanan di MK, seperti meminta biaya perkara kepada pemohon, karena semua biaya telah menjadi tanggungan anggaran MK. Dengan demikian, independensi MK dapat tetap terjaga.
Sedangkan saat menjawab pertanyaan wartawan mengenai keberlangsungan pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor), MK telah mendapat jaminan dari pemerintah yang akan secepatnya membuat payung hukum bagi pengadilan tipikor sebelum tenggat waktu tiga tahun selesai. Menurut Prof. Jimly, tidak terlalu bermasalah apakah payung hukum tersebut berupa undang-undang yang dibuat tersendiri atau dimasukkan ke dalam undang-undang yang telah ada saat ini. Selama payung hukum tersebut berupa undang-undang dan tidak menimbulkan dualisme sistem peradilan bagi pelaku kejahatan tipikor seperti yang terdapat pada Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPTPK) yang sebelumnya telah dibatalkan MK, maka pengadilan tipikor dapat tetap digunakan sebagai sarana peradilan.
Selain itu, Prof. Jimly juga menolak anggapan yang menyatakan bahwa dengan dibatalkannya ketentuan tentang pengadilan tipikor tersebut maka kasus-kasus kejahatan tipikor dikembalikan kepada pengadilan umum. Putusan MK tersebut justru memperkuat keberadaan pengadilan tipikor, ujarnya. (ardli)