Jakarta - Praktisi hukum sekaligus advokat Togar Manahan Nero mengkritik anggota partai politik (parpol) dan pengacara yang yang plin-plan dan tidak konsisten dalam menafsirkan undang-undang (UU). Kritikan itu dilontarkan menyikapi polemik Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota dalam proses perkara Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) di Mahkamah Konstitusi.
"Ada situasi yang sederhana, tetapi serius. Di satu sisi, ada anggota parpol dan pengacara yang mendukung Pasal 158 dan Peraturan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 5 Tahun 2015 tentang batas selisih perolehan suara karena kliennya menang pilkada, sehingga mengatakan pihak yang kalah pilkada tidak mempunyai legal standing untuk mengajukan sengketa di MK," ujar Togar saat konferensi pers di Sate Senayan, Epiwalk, Rasuna Epicentrum, Kuningan, Jakarta, Kamis (14/1).
Namun kata Togar, anggota parpol dan pengacara yang sama mengatakan Pasal 158 dan PMK Nomor 5 tidak benar dan perlu diabaikan MK hanya karena membela klien berbeda yang kalah dalam pertarungan pilkada. Situasi seperti ini, menurut dia, menunjukan bahwa parpol dan pengacara tidak memiliki karakter untuk menjalankan undang-undang. "Anggota parpol yang duduk di DPR kan yang membuat UU. Kalau menguntungkan pihaknya, UU baru dipakai. Kalau tidak, maka diabaikan. Ini contoh yang buruk dari parpol, mempermaikan UU. Partai tidak menunjukkan karakter terhadap UU dan tidak tidak memberikan pendidikan politik," jelas dia.
Hal senada juga terjadi pada pengacara atau advokat yang sebenarnya mempunyai kapasitas dalam menafsirkan undang-undang. Karena itu, Togar berharap Peradi atau perkumpulan organisasi hukum lainnya perlu bertindak dan mengambil sikap atas situasi seperti ini. "Peradi kan sebenarnya bisa menafsirkan UU secara benar dan baik sehingga bisa mengarahkan anggotanya. Masa ada pengacara, hanya karena membela klien yang berbeda, maka menafsirkan undang-undang secara berbeda demi kepentingan kliennya. Apakah pengacara ini masih punya karakter? Peradi perlu bertindak," imbuh Togar.
Sebagaimana diketahui, sebanyak 147 permohonan gugatan hasil pilkada masuk ke MK. Sudah ada dua gugatan yang sudah dicabut pemohonnya sehingga tersisa 145 permohonan yang diproses MK sampai tanggal 18 Januari. Setiap pemohon, termohon (KPU daerah) dan pihak terkait (peraih suara terbanyak) masing-masing didamping kuasa hukum. Namun, ada pengacara yang memegang lebih dari satu perkara dan berada pada posisi yang berbeda di mana pengacara bersangkutan membela pemohon untuk di satu daerah, tetapi di daerah lain membela termohon dan/atau pihak terkait.
Sampai saat ini, Pasal 158 UU Pilkada dan PMK Nomor 5 Tahun 2015 terkait selisih perolehan suara dalam pilkada masih diperdebatkan pengacara, lembaga swadaya masyarakat (LSM) penggiat pemilu dan pihak termohon dalam sengketa pilkada. Menurut mereka kedua aturan tersebut membatasi pencari keadilan substansif.