Jakarta - Wakil Ketua Komisi II DPR, Ahmad Riza Patria, menilai, Mahkamah Konstitusi (MK) telah salah dan keliru dalam menafsirkan Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pilkada). Tafsiran MK ini tertuang dalam Peraturan MK (PMK) Nomor 5 Tahun 2015 terkait batasan selisih perolehan suara sebagai syarat formil mengajukan gugatan ke MK.
"Kami menilai cara menghitung MK terkait selisi perolehan suara sebagaimana dituangkan di PMK Nomor 5 memiliki kelemahan, kekeliruan dan kesalahan dalam menafsirkan Pasal 158 UU Pilkada. Kalau salah menafsirkan UU, berbahaya ke depan, apalah putusan MK bersifat final dan mengikat," ujar Riza saat dihubungi Beritasatu.com, Jumat (15/1) malam.
Riza menilai, kesalahan mendasar MK dalam menghitung persentase adalah menjadikan perolehan suara tertinggi sebagai pembagi dalam menghitung. Padahal, kata dia, sesuai dengan UU Pilkada, pembagi dalam menghitung persentase adalah terhadap seluruh suara sah.
"Pembaginya sebenarnya bukan terhadap perolehan suara tertinggi, tetapi dengan seluruh suara sah. Jika menggunakan PMK Nomor 5, memang banyak sekali permohonan yang masuk ke MK, tidak memiliki legal standing," jelas Riza.
Karena penafsiran MK ini sebagaimana tertuang dalam PMK Nomor 5 Tahun 2015, Riza mengakui, Komisi II DPR mendapatkan banyak pengaduan dan masukan dari masyarakat. Menurutnya, hampir 70 orang yang berasal dari berbagai organisasi termasuk terakhir kemarin dari Forum Masyarakat Peduli Pilkada (FPMP) 2015.
"Komisi II DPR sudah berkirim surat dengan MK untuk minta waktu bertemu hakim MK dalam rangka berkoordinasi (terkait penafsiran Pasal 158 UU Pilkada). Sekarang, tinggal menunggu waktu dari MK kapan kami bisa diterima. Kami berharap juga apa yang kami sampaikan ditindaklanjuti oleh MK," tandas politisi Partai Gerindra ini.
Riza berharap, MK dapat merevisi PMK Nomor 5, karena PMK tersebut bertentangan dengan UU Pilkada yang sudah dibuat pemerintah dan DPR melalui Komisi II. Dengan demikian, kata dia, MK akan lebih arif dan bijaksana dalam menghadapi gugatan hasil Pilkada.
"Mungkin MK lebih bijaksana dan arif. MK jangan mempersempit penafsiran Pasal 158. MK adalah tempat orang mencari keadilan karena itu ruang keadilan tersebut harus dibuka seluas-luasnya. Apalagi kalau MK salah tafsir UU," ungkap Riza.
"Ke depan, lebih baik jika MK dalam membuat aturan turunan, MK perlu berkonsultasi dan berkordinasi dengan DPR dan pemerintah sebagai pembuat UU untuk menghindari hal-hal seperti ini," tambahnya.
Sebagaimana diketahui, sebelumnya puluhan orang yang tergabung dalam Forum Masyarakat Peduli Pilkada (FPMP) 2015, Kamis (14/1), mendatangi Komisi II DPR RI untuk melakukan rapat konsultasi terkait kesimpangsiuran tata cara beracara di Mahkamah Konstitusi. FPMP 2015 diterima oleh Ketua Komisi II, Rambe Kamaruzaman, dan Wakil Ketua, Ahmad Riza Patria, dengan beberapa anggotanya.
Dalam pertemuan tersebut, koordinator FPMP 2015, Frederikus Tulis, menilai, penafsiran Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Pasal 158 UU Pilkada membingungkan. Bahkan Frederikus menilai penafsiran MK yang tertuang dalam bentuk ayat sisipan di PMK Nomor 5 terkait batasan selisih perolehan suara sebagai syarat formil mengajukan gugatan ke MK, mengangkangi Pasal 158 itu sendiri.
"Ini jelas tidak sesuai amanat UU. Kita berharap MK dapat menjadi ruang untuk mewujudkan keadilan substantif," tegas Frederikus.
Sumber: http://www.beritasatu.com/nasional/341872-mk-dinilai-keliru-tafsirkan-pasal-158-uu-pilkada.html