RUU KUHP dianggap belum mampu memberikan pencerahan melainkan masih jalan di tempat, bahkan cenderung mengalami kemunduran karena masih mengakomodir sifat pemidanaan balas dendam. Bercermin dari RUU itu, ke depan, tampaknya hukum pidana Indonesia masih belum bisa membebaskan diri dari nilai-nilai hukum pidana kolonial.
Permasalahan ini mengemuka dalam pertanyaan yang diajukan oleh Hakim Konstitusi Prof. Abdul Mukhtie Fadjar, S.H., M.S. dan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan, S.H. kepada Tim Revisi KUHP dalam sidang perkara No. 6/PUU-V/2007 tentang pengujian Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap UUD 1945 yang mengagendakan mendengarkan keterangan Tim Revisi KUHP, Rabu (23/5). Dalam persidangan ini, hadir pula para pihak perkara uji materi UU Narkotika yang menguji hukuman mati.
Menjawab pertanyaan para Hakim Konstitusi, Anggota Tim Revisi KUHP Dr. Mudzakkir, S.H., M.H. mengatakan bahwa janganlah pidana hukuman mati ditempatkan pada konteks balas dendam, melainkan sebagai bentuk balancing of justice (keadilan yang seimbang). Masyarakat Indonesia masih menganut pola hidup (balas dendam) seperti itu. Potong kuping, ya dibalas potong kuping oleh korban. Bila hal seperti ini tidak kita akomodir dalam KUHP, takutnya justru akan muncul main hakim sendiri oleh masyarakat karena merasa tidak puas atas putusan hakim, jelas Mudzakkir.
Lanjut Mudzakkir, meskipun dalam RUU KUHP masih mencantumkan unsur pidana hukuman mati, namun untuk menjatuhkannya pun tidak mudah karena masuk dalam kategori pidana khusus yang bersifat alternatif. Artinya, hukuman ini pun masih bisa diturunkan menjadi hukuman seumur hidup atau dalam kurun waktu penjara tertentu. Selain itu, dalam RUU KUHP diberlakukan pula masa percobaan sepuluh tahun bagi terpidana mati untuk memperbaiki sikap selama dipenjara. Bila dalam kurun waktu itu tidak ada perbaikan, maka bisa dilakukan hukuman mati, lanjut Mudzakkir.
Dalam kesempatan ini, Kuasa Hukum perkara No. 6/PUU-V/2007 A.H. Wakil Kamal, S.H. menanyakan apakah Tim Revisi KUHP tidak memperhatikan pula putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang dihapuskannya unsur penghinaan terhadap penguasa dalam KUHP karena dinilai inkonstitusional.
Menjawab pertanyaan ini, Mudzakkir mengakui bahwa rumusan terakhir RUU KUHP adalah Tahun 1985, dan hingga saat ini hanya ada sedikit perbaikan terkait ketentuan war crime. Sampai hari ini, kami tidak melakukan perubahan kembali. Bila terus-menerus diubah, sampai kapan selesainya? Karena perkembangan hukum masih akan terus berlanjut dari waktu ke waktu, jawabnya. (Wiwik Budi Wasito)