Hak untuk hidup yang dilindungi oleh Pasal 28I UUD 1945 yang menjadi salah satu hak yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights), ternyata dapat dikurangi atau dibatasi keberlakuannya dengan undang-undang, sebagaimana tercantum dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Pendapat ini dikemukakan oleh Mantan Anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja (PAH I BP) MPR Patrialis Akbar, S.H. dan Drs. Lukman Hakim Syaifuddin dalam sidang judicial review UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (UU Narkotika) mengenai hukuman mati terhadap UUD 1945, Rabu 23 Mei 2007 di ruang sidang MK.
Lanjut Patrialis, pembatasan hak untuk hidup salah satunya melalui sanksi hukuman mati ini pun dimaksudkan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Hal ini sebagaimana sudah jelas tercantum dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, jelas Patrialis.
Melanjutkan keterangan Patrialis, secara kronologis, Lukman Hakim menceritakan bahwa latar belakang dimasukkannya pasal-pasal yang mengatur tentang HAM ke dalam UUD 1945 adalah berdasarkan Ketetapan MPR No. 17 Tahun 1998 tentang HAM dan juga UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM (UU HAM), yang kemudian diadopsi ke dalam Bab XA UUD 1945 yang disahkan pada perubahan kedua UUD 1945, 18 Agustus 2000. Pembahasan ini tak hanya terjadi di tingkat PAH I saja melainkan hingga dibawa ke sidang komisi A yang terdiri dari anggota MPR yang lebih banyak, demi mendapatkan hasil yang lebih komprehensif, ungkapnya.
Pembatasan yang ditetapkan dalam Pasal 28J UUD 1945, imbuh Lukman, sejalan dengan semangat yang mendasari Tap MPR No. 17 Tahun 1998 dan UU HAM, bahwa HAM tidak bisa diberlakukan dengan sebebas-bebasnya namun dibatasi undang-undang. Jadi hanya undang-undang sajalah yang boleh membatasi pelaksanaan hak dan kebebasan seseorang, papar Lukman sekaligus mengutip penjelasan Pasal 4 dan Pasal 9 ayat (1) UU HAM yang menjelaskan bahwa hak untuk hidup dapat dibatasi dalam hal hukuman mati dan aborsi.
Menanggapi pernyataan Lukman, Kuasa Hukum Perkara No.2/PUU-V/2007 Ir. Alexander Lay, S.H., LLM. menanggapi bahwa penjelasan dalam pasal-pasal UU HAM yang dikutip Lukman Hakim itu melampaui porsinya sebagai penjelasan. Menurut Lay, penjelasan suatu pasal tidak diperbolehkan melebihi atau membatasi pengertian pasal. Hal ini sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Selain itu, penjelasan bukanlah menjadi ketentuan yang mengikat, jelas Lay.
Pada kesempatan ini, Hakim Konstitusi Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H. mempertanyakan mengapa HAM yang diatur dalam UUD 1945 yang merupakan constitutional rights atau given dari grundgezets, dapat dibatasi hanya oleh undang-undang.
Menanggapi pertanyaan ini, Lukman Hakim Syaifuddin dan Patrialis Akbar sepakat menjawab bahwa pembatasan yang dilakukan oleh undang-undang itu sendiri merupakan perintah dari UUD. Maka dari itu, Pasal 28J selain hanya mencantumkan perihal kewajiban, juga menjadi pasal kunci dari Bab XA tentang HAM, tegas Akbar.
Lanjut Patrialis, ketika membaca pasal-pasal perlindungan HAM dalam UUD 1945 tidak bisa sepotong-potong atau per pasal melainkan harus dibaca secara komprehensif, sehingga semua kebebasan HAM yang diatur mulai dari Pasal 28A hingga Pasal 28I, terbatasi oleh ketentuan Pasal 28J. Artinya, ketentuan Non Derogable Rights pun, dapat dibatasi oleh undang-undang. (Wiwik Budi Wasito)