REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) diharapkan dalam menindaklanjuti perkara perselisihan hasil Pilkada (PHP) tidak hanya mengacu pada selisih hasil suara, tetapi juga mempertimbangkan pelanggaran yang menjadi salah satu pokok permohonan para pemohon.
Pengamat politik dari Indonesian Institute for Development and Democracy (Inded), Arif Susanto mengatakan sebab pelanggaran yang terjadi dalam proses Pilkada juga merupakan satu rangkaian dengan hasil Pilkada.
Ia mengingat banyaknya pelanggaran yang turut dimohonkan para pemohon dalam sidang pemeriksaan di MK, antara lain, pelanggaran administrasi Pemilu, kode etik, sampai politik uang.
"Kan berbagai pelanggaran, itu pada akhirnya berujung pada hasil perolehan suara, jadi MK jangan hanya melihat angka-angka saja, ini satu rangkaian, nggak mungkin ngomong prosedur tapi lupakan substansi," kata Arif pada diskusi "Peran MK dalam menegakkan Pilkada Jurdil" di Menteng, Jakarta Pusat, Senin (11/1).
Arief menilai, MK sendiri dalam beberapa pernyataan sebelumnya menilai pelanggaran yang dimaksud tersebut semestinya diselesaikan di lembaga peradilan sesuai kapasitasnya, sebelum diajukan ke MK.
Namun menurutnya, pelanggaran yang dilaporkan ke masing-masing lembaga peradilan tersebut masih dirasa tidak memenuhi konsep keadilan Pemilu jujur dan adil. Sehingga, MK lah yang dinilai paling bisa memenuhi konsep keadilan pihak yang dirugikan di Pilkada tersebut.
"Untuk memenuhi itu, MK jangan hanya terikat dari tafsir konservatif dan kontekstual, apalagi itu dibutuhkan untuk menyelamatkan demokrasi," ujarnya.
Hal serupa diungkapkan pengamat Pilkada dari Komite Pemilihan Indonesia (TePI) Jerry Sumampouw yang menilai masa depan Pilkada serentak jurdil ada di tangan MK.
Menurutnya, jika MK dalam putusannya hanya menindaklanjuti perkara yang sesuai selisih suara dan mengabaikan pelanggaran yang terstruktur, sistematis dan masif, maka akan berdampak buruk untuk Pilkada selanjutnya.
"Ke depan, orang hanya memikirkan bagaimana memperoleh hasil angka dan mengabaikan Pilkada yang jurdil, masa depan Pilkada ada di MK, kalau (pelanggaran Pilkada TSM) lolos, nggak baik buat ilkada 2017 dan selanjutnya, kualitas akan makin buruk," jelasnya.
Sehingga kata dia, peran MK sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan masa depan Pilkada. Sementara, koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz mengatakan, ada perbedaan dalam perhitungan selisih suara antara menggunakan hitungan berdasarkan Pasal 158 UU 8/2015 dengan PMK 5/2015.
Yakni Pasal 158 berdasarkan surat suara yang ditetapkan KPU, sementara jika berdasarkan PMK 5/2015 mengatur batas selisih berdasarkan suara pemenang yang terpilih.
"Kalau dilihat dari hitungannya total suara sah, itu banyak, tapi kalau dilihat dari PMK itu jadi sedikit, dari sini, ketentuan soal maksimal dua persen dengan PMK itu memperumit, dan nyata-nyata mengurangi aspek pencarian keadilan," katanya.
Oleh karenanya, ia pun mendesak agar MK tidak menjadikan selisih suara satu-satunya faktor pertimbangan keputusan. "Kalau dilihat jika memang ada pelanggaran yang sistemik, bisa dilanjutkan proses selanjutnya," ujarnya.
Sumber: http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/pilkada/16/01/11/o0spgi354-pengamat-pilkada-masa-depan-pilkada-jurdil-ada-di-mk