"Saudara siapa? Mengapa tidak memakai toga?" tanya hakim konstitusi Anwar Usman saat menegur advokat Darisalum Telaumbanua. Dalam agenda pemeriksaan pendahuluan sengketa pilkada, Kamis (8/1), di Mahkamah Konstitusi, Darisalum hanya berkemeja lengan panjang tanpa toga advokat.
Minta maaf Yang Mulia. Toga sebenarnya ada, tetapi sedang dipinjam teman," jawab Darisalum. Alhasil, hanya Darisalum yang kali itu bersidang tanpa toga.
Meskipun wajah Anwar tidak terlalu cerah, Darisalum tetap diperbolehkan mendampingi pasangan Martinus Lase-Kemurnian Zebua dalam sengketa hasil Pilkada Kota Gunung Sitoli, Sumatera Utara.
Sebelumnya, Anwar juga menegur seorang laki-laki tanpa toga yang duduk di kursi barisan terdepan. Ketika ditanya, laki-laki itu mengaku sebagai juru bicara dari salah seorang pemohon.
"Saudara ingat, ya, tidak ada juru bicara di persidangan MK. Yang ada itu kuasa hukum! Silakan duduk di belakang," kata Anwar.
Gedung MK hari-hari ini begitu berwibawa. Para pemohon dari 145 permohonan perselisihan hasil pilkada patuh mengikuti persidangan.
Di sisi lain, mereka sangat berharap hakim konstitusi bertindak adil demi masa depan pemohon dan warga di daerah.
Tiga lapis "metal detector" dari serambi hingga ruang sidang makin mendukung kewibawaan Mahkamah Konstitusi.
Pasti ada sedikit kegentaran untuk berbuat hal-hal negatif. MK juga dijaga 852 orang anggota kepolisian yang disebar dalam tiga ring pengamanan.
Bicara soal kewibawaan, Ketua MK Arief Hidayat tidak pernah lelah menghidupkan kewibawaan lembaganya yang kali ini mengemban tugas sebagai pemutus perselisihan sengketa pilkada.
"Semua (urusan terkait penyelesaian sengketa pilkada) harus lewat pintu pendaftaran," ujarnya.
"Kita harus menjaga bersama supaya proses penyelesaian sengketa ini benar. Jangan ada (penyelesaian) dari seorang hakim, jangan pula percaya (info dari) petugas MK. Jika ada perubahan (permohonan), hanya boleh redaksional dan tak mengubah dalil serta substansi. Sampaikan bukti tambahan sekarang dan langsung disahkan. Di luar itu, tidak ada bukti-bukti lain," kata Arief.
Tenggang waktu
Sebelum sampai ke perdebatan pokok perkara, ada banyak hal teknis yang dibahas di dalam sidang pendahuluan.
Di antaranya soal tenggang waktu pengajuan permohonan yang berdasarkan Pasal 5 Ayat 1 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2015 juncto Pasal 157 Ayat 5 UU No 8 Tahun 2015 hanya dapat diajukan paling lambat 3 x 24 jam sejak pengumuman penetapan perolehan suara hasil pemilihan.
"Anda pakai dasar hukum apa?" kejar hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna dalam sebuah pemeriksaan pendahuluan.
Dia terheran-heran ketika ada seorang kuasa hukum yang menjelaskan tenggat waktu permohonan adalah tiga hari kerja.
"Mana ada di Peraturan Mahkamah Konstitusi dikatakan permohonan itu 3 x 24 jam hari kerja. Adanya 3 x 24 jam," ujar Palguna, yang tatapan matanya kerap menggetarkan.
Dalam perkara terpisah, seorang kuasa hukum menjelaskan bahwa dasar pertimbangan tenggat waktu yang disampaikannya adalah sesuai penjelasan seorang pegawai MK.
"Saudara tidak bisa klaim itu. Dia pegawai MK yang mana?" tanya Arief.
Urusan tenggat waktu ini menjadi urusan serius bagi pemohon. Apabila tenggat waktu terlampaui, permohonan dapat gugur.
Kejelasan bukti
Hakim konstitusi Palguna kerap pula melemparkan pertanyaan-pertanyaan yang tajam. Ketika pemohon meminta adanya pemungutan suara ulang di Kecamatan Rao di Pasaman, Sumatera Barat, Palguna mempertanyakan apakah perbedaan suaranya akan signifikan?
"Jumlah kecurangannya apakah juga signifikan?" tanya Palguna.
Pasangan calon bupati Pasaman Benny Utama dan Daniel, yang menjadi pemohon di perselisihan Pilkada Pasaman, kemudian menilai perolehan suara pasangan nomor 2, yakni Yusif Lubis-Atos Pratama, seharusnya dikurangi 1.304 suara karena didapat secara tidak sah dan tidak benar.
Soal bukti ini kerap menjadi sasaran pertanyaan dari hakim konstitusi. Terkadang, dalil dan argumentasi yang dibangun oleh pemohon dinilai hakim tidak kuat dijadikan dasar bagi pembatalan penetapan hasil pilkada, atau permintaan untuk pemungutan suara ulang.
"Pernyataan saudara itu ada buktinya atau hanya asumsi saudara saja?" begitu berkali-kali hakim konstitusi bertanya. "Itu, kan, asumsi saudara," ujar seorang hakim konstitusi di kesempatan lain.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Fadli Ramadhanil, dari awal sudah mengingatkan pemohon untuk serius menyajikan bukti-bukti.
Pemeriksaan pendahuluan amat menentukan supaya pokok perkara dapat disidangkan. Terlebih lagi, apabila pemohon menginginkan hakim menghadirkan keadilan substansi dan tidak sekadar keadilan prosedural, bukti harus kuat.
Namun, sebagian pemohon, sayangnya, menghadirkan dalil yang justru membuat hakim konstitusi meradang.
Romeo Tumbel, kuasa hukum dari calon pasangan Bupati Minahasa Utara, Sompie SF Singal dan Penggy Adeline Mekel, misalnya, justru mengatakan bahwa pasangan calon nomor urut 2, Vonnie Anneke Panambunan, cacat moral.
Vonnie Anneke, yang memenangi Pilkada Minahasa Utara, dikatakan tersangkut pemberitaan di media sosial dan media massa daerah terkait dengan foto-foto skandal seks.
"Secara moral, dia tidak memiliki legitimasi moral sebagai pemimpin Kabupaten Minahasa Utara," ujar Romeo.
Pasal 7 Point I dari UU No 8/2015, kata Romeo, salah satu syarat calon adalah tidak pernah melakukan perbuatan tercela.
"Ya, apa urusannya dengan Mahkamah Konstitusi?" tanya Arief Hidayat.
Ketidaksiapan pemohon dan kuasa hukum juga sering terungkap di persidangan. Terungkap, misalnya, ada kesalahan ketik nama daerah di berkas permohonan.
Kuasa hukum seharusnya menulis mewakili untuk perselisihan di Labuhan Batu Selatan, Sumatera Utara, tetapi justru ditulis Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.
Ada pula yang janggal dalam sidang pendahuluan terkait dengan sengketa Pilkada Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur.
Advokat Kahar Nawir Simatupang tidak memperkenalkan pasangan calon bupati Kutai Barat, Abed Nego dan Syaparudin, yang memberikan kuasa kepada dirinya.
"Itu pemohonnya, kok, tidak dikenalkan? Kok, saudara seperti tidak kenal? Saya juga ingin bertanya apakah saudara pemohon sudah kenal dengan kuasa hukum Anda?" tanya hakim konstitusi Patrialis Akbar.
Kahar Nawir menjawab, "Baru ketemu (pemberi kuasa) tadi malam, Yang Mulia."
"Nah, apakah saudara sudah dibayar?" tanya Patrialis sambil tersenyum.
Kahar Nawir tidak menjawab. Dia hanya tertunduk dan tersenyum malu.
"Nah itu..." ujar Patrialis, seolah mengetahui jawabannya.
Dari gedung MK, dari persidangan penyelesaian sengketa pilkada di Jalan Merdeka Barat, Jakarta, kita dapat memahami sebagian wajah praktik demokrasi di republik ini.
Sumber: http://pilkada.kompas.com/read/2016/01/10/07572441/Dari.Toga.Juru.Bicara.hingga.Foto.