JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jeirry Sumampow menuturkan, pasal 158 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada sebetulnya merupakan pasal yang dibuat dengan sarat kompromi.
Ia membeberkan, pasal tersebut dimunculkan untuk memangkas jumlah kasus sengketa hasil pilkada yang ditangani Mahkamah Konstitusi (MK). Karena pada awalnya, MK sempat menolak untuk mengadili kasus tersebut.
Dalam proses pembahasan UU 8/2015, Jeirry menyebutkan MK sempat bertemu DPR dan menyatakan keberatan jika kasus sengketa hasil pilkada tetap disidangkan di MK.
Bahkan, kata Jeirry, ada desain dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memberikan wewenang persidangan sengketa hasil pilkada kepada Mahkamah Agung (MA).
Alasan penolakkan MK, menurut dia, adalah karena terlalu banyak beban serta gugatan yang akan diterima MK dari hasil penyelenggaraan pilkada serentak pertama tersebut.
"Pasal 158 ini tadinya dimunculkan sebagai semacam kompromi pengurangan kasus. Tapi tidak tahu, tiba-tiba MA menolak dan merasa tidak siap. Lalu DPR mengembalikan (wewenang) kembali ke MK," ujar Jeirry dalam sebuah acara diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Senin (11/1/2016).
Jeirry menambahkan, penolakan semakin kencang disuarakan MK pascakasus Akil Mochtar. Ia berasumsi, jika Akil tak tertangkap, mungkin MK tak akan menolak mengadili kasus sengketa hasil pilkada.
"Dengan ini terungkap sendirinya bagaimana permainan kasus pilkada di MK. Karena kewenangannya besar dan tidak bisa digugat," kata Jeirry.
Sementara itu, Peneliti Indonesian Institute for Development and Democracy (Inded), Arif Susanto mengutarakan hal senada. Menurut dia, sempat terjadi saling lempar antara MK, MA dan DPR terkait siapa yang seharusnya menangani sengketa hasil pilkada.
Hingga akhirnya ditegaskan dalam UU 8/2015 bahwa yang berwenang mengadili adalah peradilan khusus pemilu. Namun sebelum peradilan tersebut terbentuk, MK diberi kewenangan untuk menyelesaikannya.
Ia melihat, ada suasana gamang dalam tubuh MK untuk menolak menyidangkan kasus sengketa hasil pilkada.
"Jadi, kalau hari ini bersedia, sebetulnya sebuah titik kompromi antara MK, MA dan DPR. Sehingga untuk sementara waktu MK menangani sengketa pilkada," imbuh Arif.
Arif menilai, pembatasan syarat selisih suara tersebut keliru. Sebab, tak hanya mengeliminasi pemohon-pemohon yang iseng mendaftarkan perkara ke MK, tapi juga berpotensi mengeliminasi calon-calon yang benar-benar dirugikan.
"Cara DPR lewat Undang-Undang dan MK lewat PMK (Peraturan MK) untuk meminimalisasi masuknya kasus, ini keliru. Calon-calon yang dirugikan bisa ikut tereliminasi," kata dia.
Untuk diketahui, Di dalam Pasal 158 ayat (1) dijelaskan bahwa provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan dua juta jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2 persen dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi.
Sementara provinsi dengan jumlah penduduk 2 juta hingga 6 juta, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5 persen dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi.
Adapun Peraturan MK juga mengatur hal serupa namun dengan hitungan matematis yang berbeda. Dalam Pasal 6 ayat (3) PMK Nomor 5 dijelaskan bahwa persentase selisih suara dihitung dari suara terbanyak berdasarkan hasil penghitungan suara.
Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2016/01/11/16391561/Banyak.Diperdebatkan.Pasal.158.UU.Pilkada.Disebut.Pasal.Kompromistis