Jakarta - Sebanyak 147 dari 269 pilkada yang digelar serentak pada 9 Desember 2015 lalu digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Para pihak yang tidak puas tersebut mencoba mencari keadilan dengan sisa-sisa semangat yang mereka punya.
Saksi dikumpulkan, bukti disertakan, dan sejumlah argumen disusun sedemikian rupa agar gugatan mereka berpeluang dikabulkan. Pada sidang pendahuluan hari pertama, Kamis (7/1) kemarin, tak kurang dari 50 perkara sengketa disidangkan 3 panel yang terdiri dari masing-masing 3 hakim konstitusi.
Ratusan pihak yang berperkara ikut meramaikan areal MK di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Mereka terlihat antusias datang dari segala penjuru Indonesia untuk membuktikan bahwa perjuangan belum selesai. Masih ada asa dengan mencari keadilan dari 9 hakim Yang Mulia.
Saat sidang dimulai, tak sedikit yang berkas permohonannya dikritik hakim karena masih salah di sana-sini. Baik format penulisan maupun apa saja substansi yang harus disertakan. Mereka masih belum mengerti benar bagaimana mengajukan permohonan sesuai standar MK.
Peserta pesta demokrasi itu tak menyerah, karena di sidang pendahuluan adalah kesempatan terakhir pemohon memperbaiki kekurangan berkasnya, tak jarang mereka membetulkan kesalahan-kesalahan tersebut, saat itu juga.
Namun, MK seakan ada di persimpangan. Menjamurnya perkara yang disidangkan pun, hingga 147 perkara, bisa dibilang tak lepas dari dua percabangan yang membuat MK akhirnya harus menentukan sikap.
MK menyidangkan setiap perkara yang masuk dengan mengabaikan syarat di Pasal 158 UU Pilkada yang mengharuskan sengketa pilkada yang akan ditangani diwajibkan memiliki selisih perhitungan suara tak lebih dari 2 persen.
"Banyak yang di luar ketentuan pasal itu. Ada yang menyinggung soal dana kampanye, ada yang tentang DPT, ada yang menyinggung tentang kampanye. Baik black campaign maupun money politik," tutur Ketua KPU Husni Kamil Manik, saat memantau sidang di MK, Kamis (7/1) kemarin.
Pria yang telah menjabat sebagai Ketua KPU selama kira-kira 3,5 tahun itu berpendapat, bahwa hanya majelis konstitusi yang memiliki wewenang apakah perkara dengan selisih suara di atas 2 persen akan ditangani oleh MK atau tidak.
"Itu wilayah mahkamah yang menilai. Tugas kami adalah menjelaskan tuduhan-tuduhan yang ada itu," ujar Husni.
"Yang berhitung soal berapa seharusnya mereka mendapatkan suara, dan berapa seharusnya pihak terkait mendapatkan suara, itu deskripsinya tidak bisa dibuat sejelas-jelasnya oleh pemohon," imbuh Husni.
Hal senada disampaikan Ketua KPU Kota Medan Yeni Chairiah Rambe. Menurut Yeni, ratusan permohonan yang masuk sudah teregistrasi di MK. Mau tidak mau, pihaknya akan menghadapi setiap gugatan yang dilayang terhadap mereka.
"Itu kewenangan di MK. Permohonan sudah masuk dan teregistrasi. Kami sebagai penyelenggara dan sebagai pihak termohon akan melaksanakan kewajiban kami untuk memenuhi hak konstitusi dari masing-masing pemohon," ujar Yeni.
"Soal nggak boleh lebih dari 2 persen, itu serahkan ke MK saja," sambungnya.
Padahal ahli hukum tata negara Margarito Kamis mengatakan, Pasal 158 UU nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada sudah jelas mengatur mengenai syarat-syarat pengajuan gugatan.
"Itu sudah terang benderang. Lain halnya kalau tidak ada tafsirnya," kata Margarito.
Menurut Margarito, pengajuan perkara Pilkada dengan selisih suara di atas 2 persen sudah tentu melanggar Pasal 158. MK bisa langsung tegas untuk tidak melanjutkan penanganan perkara tersebut.
Berikut aturan batasan selisih suara seperti yang diatur dalam Pasal 158 UU Pilkada:
Pilkada Provinsi
1. Provinsi dengan jumlah penduduk kurang dari 2 juta maka maksimal selisih suara 2 persen.
2. Provinsi dengan jumlah penduduk 2 juta-6 juta maka maksimal selisih suara 1,5 persen.
3. Provinsi dengan jumlah penduduk 6 juta-126 juta maka maksimal selisih suara 1 persen.
4. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12 juta maka maksimal selisih suara 0,5 persen.
Pilkada Kabupaten/Kota:
1. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk kurang dari 250 ribu maka maksimal selisih suara 2 persen.
2. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 250 ribu-500 ribu maka maksimal selisih suara 1,5 persen.
3. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 500 ribu-1 juta maka maksimal selisih suara 1 persen.
4. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1 juta maka maksimal selisih suara 0,5 persen.
"Jadi kalau mau bicara hukum positif, MK tidak punya pilihan lain, menerima atau menolak perkara. Kalau melihat ini, maka perkara-perkara yang selisih suara melebihi 2 persen atau bertentangan (dengan UU Pilkada) mesti ditolak," cetus Margarito.
Sumber: http://news.detik.com/berita/3113467/ramai-ramai-melawan-batas-limitatif-sengketa-pilkada-ke-mk