Jakarta - Matanya menerawang, mengenang masa kelam 3 tahun silam. Suaranya yang datar tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya terhadap kondisi kebangsaan Indonesia terkini.
Bagaimana tidak, sebagai penjaga konstitusi, Mahkamah Konstitusi (MK) malah terseret kasus korupsi yang dilakukan oleh ketuanya, Akil Mochtar pada 2013 silam. Getah pun mengenai seluruh hakim konstitusi, termasuk Prof Maria Farida Indarti. Guru besar Universitas Indonesia (UI) ini mau tidak mau harus berkali-kali ke KPK memberikan keterangan terkait sengketa pilkada yang ditangani MK.
"Satu pengalaman bagi saya, kalau orang dipanggil KPK seperti geledek di siang bolong. Kami enggak tahu dipanggil sebagai apa. Semua mahasiswa dan keluarga telepon saya untuk ke depan perlu diberitakan dia dipanggil sebagai apa," kata Maria Farida.
Pernyataan ini disampaikan saat ia bersama 8 hakim konstitusi lainnya menerima pimpinan KPK di lantai 4 kantornya, Rabu (7/1) kemarin. Seluruh pimpinan KPK yang hadir saat itu mendengar dengan seksama.
"Diperiksa 8 jam, padahal cuma (ditanya) identitas. Diketik tangan lalu pakai komputer dan itu lama sekali. Tidak boleh membawa apa-apa, termasuk pulpen. Jadi mungkin ini suatu hal pengalaman yang berharga," kata ahli perundang-undangan itu sambil tersenyum tipis sembari mengenang.
Ia dimintai sebagai saksi karena menjadi anggota majelis panel sengketa Pilkada Lebak dengan ketua Akil Mochtar. Dalam pilkada ini, Akil menerima uang panas Rp 1 miliar lewat Susi Tur Andayani dari Tubagus Chaeri Wardana untuk memenangkan salah satu kandidat pilkada Lebak. Gara-gara Akil bermain api, Maria harus menjelaskan duduk persoalan perkara itu ke KPK bahwa dirinya tidak terlibat sama sekali.
"Jadi mungkin ini suatu hal pengalaman yang berharga," ungkap putri sulung pasangan Raden Petrus Hendro dan Veronica Sutasmi tersebut.
Sejak itu Maria bersumpah dalam hatinya enggan menangani perkara sengketa pilkada lagi. Hal ini diamini koleganya, Prof Dr Arief Hidayat.
"Beliau sudah sangat truama," kata Arief yang juga guru besar Universitas Diponegoro (Undip) Semarang.
Karena kasus inilah, maka MK mencoret kewenangan mengadili sengketa pilkada. Bola panas kewenangan lalu berpindah kembali ke Mahkamah Agung (MA). Dalam Perppu Pilkada, sengketa pilkada rencananya akan diadili di 4 Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di pulau besar. Tapi siapa nyana, DPR merevisi Perppu itu dan kembali memberikan kewenangan penyelesaian sengketa pilkada ke MK hingga dibentuk pengadilan khusus.
"Dalam masa transisi ini dengan rendah hati dan bangga menerima amanah tangani kembali sengketa pilkada," kata Arief yang juga didapuk menjadi Ketua MK itu.
Untuk mencegah kasus Akil terulang, UU Pilkada membentengi MK dengan batas limitatif. Tidak semua selisih suara pilkada bisa diadili MK. Hanya yang memenuhi syarat limitatif belaka yang bisa diadili, yaitu:
Pilkada Provinsi
1. Provinsi dengan jumlah penduduk kurang dari 2 juta maka maksimal selisih suara 2 persen.
2. Provinsi dengan jumlah penduduk 2 juta-6 juta maka maksimal selisih suara 1,5 persen.
3. Provinsi dengan jumlah penduduk 6 juta-126 juta maka maksimal selisih suara 1 persen.
4. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12 juta maka maksimal selisih suara 0,5 persen.
Pilkada Kabupaten/Kota:
1. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk kurang dari 250 ribu maka maksimal selisih suara 2 persen.
2. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 250 ribu-500 ribu maka maksimal selisih suara 1,5 persen.
3. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 500 ribu-1 juta maka maksimal selisih suara 1 persen.
4. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1 juta maka maksimal selisih suara 0,5 persen.
Namun batasan ini mulai digoyah beberapa pihak. Dengan alasan adanya pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif, maka pilkada haruslah diulang atau dibatalkan.
"Aturan ini juga berpotensi menimbulkan dampak yang serius sebagai akibat dari pelanggaran yang tidak terkendali dalam proses pelaksanaan pilkada baik dari sisi pasangan calon maupun penyelenggara, sehingga tidak akan terwujud free and fair election," ujar pengacara salah satu penggugat hasil pilkada, Heru Widodo.
Namun, pendapat para praktisi bertolakbelakang dengan pendapat akademisi. Sebab alasan adanya pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif dipakai Akil untuk bermain api.
"Hal ini untuk mencegah terulangnya kejadian buruk yang hampir meruntuhkan eksistensi MK saat MK dipimpin Akil Mochtar yang atas dasar dalil-dalil terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif dalam pilkada di banyak daerah telah memperjualbelikan perkara di MK," kata ahli hukum Dr Bayu Dwi Anggono.
Rencananya, pagi ini MK akan menggelar sidang perdana untuk hasil pilkada serentak 9 Desember kemarin. Semoga MK bisa melalui badai demokrasi ini.
Sumber: http://news.detik.com/berita/3112507/waswas-maria-farida-adili-sengketa-pilkada