160 mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung jurusan Pendidikan Kewarganegaraan berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk belajar Konstitusi dan hukum acara MK (9/5). Mereka disambut oleh Hakim Konstitusi Letjen (Purn) H. Achmad Roestandi, S.H. dan Panitera MK Drs. H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum.
Membuka uraiannya, Roestandi menjelaskan bahwa hukum dapat berjalan dengan baik apabila terpenuhi tiga syarat, antara lain, pertama, terpenuhinya sumber daya manusia yang berkualitas baik skill maupun akhlaknya. Kedua, adanya sarana dan prasarana pendukung berjalannya hukum seperti gedung yang representatif. Ketiga, terciptanya kesadaran hukum masyarakat.
Realisasi dari unsur ketiga, Roestandi menekankan bahwa para pendidik memegang peran kunci untuk mewujudkan budaya sadar berkonstitusi. Untuk itu, selain mengadakan sosialisasi ke berbagai lapisan dan golongan masyarakat, MK juga menggandeng UPI untuk membuat buku Pendidikan Kesadaran Berkonstitusi, jelasnya.
Sedangkan pada penjelasan substansi perkembangan ketatanegaraan Indonesia dan MK, Roestandi memulai dari ide pembentukan MK yang ternyata sudah ada sejak awal masa kemerdekaan Indonesia. Ide pembentukan MK diusung oleh Mohammad Yamin, namun kemudian dimentahkan oleh Soepomo karena alasan belum kondusifnya negara pada waktu itu serta karena belum banyaknya ahli hukum yang dimiliki bangsa ini pada waktu itu.
Namun, lanjut Roestandi, sejak bergulirnya reformasi muncullah kembali ide pembentukan MK. Maka, pada Pasal 24C UUD 1945 perubahan ketiga, terbentuklah lembaga negara MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung.
Selain itu, Roestandi juga menjelaskan secara mendalam tentang berbagai kewenangan MK, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, serta wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. (Wiwik Budi Wasito)