Jakarta-Berakhirnya tahun 2015 dan segara mulainya tahun 2016 adalah momentum tepat untuk mengevaluasi perjalanan negara hukum Indonesia utamanya berkaitan dengan apakah kekuasan mengatur (membentuk peraturan perundang-undangan) yang dimiliki oleh negara sebagai sarana mewujudkan keteraturan, ketertiban, keadilan, kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat telah tercapai.
Pilihan para pengubah UUD 1945 saat merumuskan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan Indonesia sebagai negara hukum bukanlah dalam arti hukum (utamanya peraturan perundang-undangan) yang semata-mata dibentuk dari, oleh dan untuk penguasa negara melainkan negara hukum yang dimaksud adalah hukum yang pembentukannya meskipun dari penguasa negara namun ide dan peruntukannya adalah untuk kepentingan rakyat banyak. Ide negara hukum yang mencerminkan kehendak rakyat ini diwujudkan dengan dirumuskannya ketentuan Pasal 1 ayat (3) bersamaan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 pada 9 November 2001 yang menyatakan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Kombinasi Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 inilah yang kemudian melahirkan istilah "negara hukum yang demokratis" dan "demokrasi yang berdasarkan nomokrasi (negara hukum)".
Kekuasaan Mengatur oleh Legislatif
Dari cabang-cabang kekuasaan negara yaitu legislatif, eksekutif, yudikatif pada dasarnya yang diberikan kuasa mengatur melalui pembentukan peraturan perundang-undangan adalah cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif. Lembaga legislatif merupakan organ utama pembentuk produk legislatif (meskipun dalam kasus Indonesia dibentuk dengan persetujuan bersama Presiden sebagai kepala eksekutif), sementara lembaga eksekutif bertindak sebagai lembaga sekunder dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (utamanya peratuan di bawah undang-undang). Dalam bahasa A Hamid S Attamimi (1990) kekuasaan mengatur oleh lembaga legislatif tersebut dinamakan dengan pouvoir legislatif, sedangkan kekuasaan mengatur yang dimiliki oleh lembaga eksekutif untuk menjalankan atau mengatur bekerjanya UU disebut dengan pouvoir reglementaire.
Cabang kekuasaan legislatif yang memiliki tugas membentuk undang-undang selama ini ternyata belum mampu melahirkan aturan hukum yang responsif, partisipatif dan populis.
Dari 39 RUU yang ada dalam Prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015, DPR hanya mampu membentuk 3 UU yaitu UU Perubahan UU Pilkada, UU Perubahan UU Pemerintahan Daerah, dan UU Penjaminan. Terdapat beberapa RUU yang berkaitan dengan kepentingan rakyat banyak yang gagal diselesaikan di tahun 2015 yaitu RUU perubahan UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, RUU Perubahan UU Minyak dan Gas, RUU tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara, RUU Perubahan UU Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja di Luar Negeri, dan RUU perubahan UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Dampak tidak terselesaikannya beberapa RUU yang berkategori populis tersebut akan mempengaruhi pemenuhan hak ekonomi dan sosial rakyat sebagaimana dijamin UUD 1945. Hal ini dikarenakan meskipun negara hukum bukanlah identik dengan negara UU semata, namun UU merupakan sumber hukum utama dalam sebuah negara hukum seperti Indonesia.
Menurut Vincent Crabbe (1994) Sebagai sumber hukum utama UU merupakan alat bagi penguasa negara untuk mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintahan di bidang ekonomi, budaya, politik dan kebijakan sosial. Selain UU juga memiliki fungsi sebagai sarana perubahan yaitu UU diciptakan atau dibentuk untuk mendorong perubahan masyarakat di bidang ekonomi, sosial maupun budaya.
Kekuasaan Mengatur oleh Eksekutif
Berkebalikan dengan lembaga legislatif, lembaga eksekutif di tahun 2015 boleh dikatakan lebih baik dalam menjalankan kuasa mengatur meskipun tetap terdapat beberapa catatan. Salah satu bentuk responsifnya pemerintah dalam menjalankan kuasa mengatur adalah ketika berhasil mengundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Beberapa ketentuan dalam PP 27/1983 yang dirasakan tidak adil dan tidak lagi sesuai perkembangan kehidupan masyarakat telah diubah, di antaranya ganti rugi salah tangkap/korban peradilan sesat yang sebelumnya ditetapkan Rp 5 ribu sampai dengan Rp 1 juta, dan sebelumnya Rp 5 ribu-Rp 3 juta (Jika korban ganti rugi salah tangkap/korban peradilan sesat luka/cacat/meninggal dunia) oleh PP 92/2015 diubah menjadi Rp 25 juta-Rp 100 juta, Rp 25 juta-Rp 300 juta (Jika korban ganti rugi salah tangkap/korban peradilan sesat luka/cacat), dan Rp 50 juta-Rp 600 juta (Jika korban ganti rugi salah tangkap/korban peradilan sesat meninggal dunia).
Selain itu, perubahan PP 92/2015 juga memuat beberapa hal penting yaitu maksimal 14 hari uang ganti rugi harus cair sejak pengadilan pengaju mengajukan ke Kementerian Keuangan, padahal Sebelumnya tidak dibatasi waktu sehingga bertahun-tahun lamanya eksekusi bisa dilaksanakan.
Dilakukannya perubahan besaran ganti rugi dalam PP 27/1983 setelah hampir 32 tahun diundangkan merupakan wujud perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia oleh negara sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, mengingat telah banyak korban salah tangkap/peradilan sesat utamanya rakyat jelata yang tidak mendapat hak sebagaimana mestinya dari negara. Dipenuhinya tuntutan masyarakat agar negara melalui Presiden besaran ganti kerugian dan jangka waktu pembayaran dalam PP 27/1983 juga mencerminkan implementasi prinsip negara hukum yang demokratis dengan ciri utamanya adanya pengakuan atas daulat rakyat serta partisipasi publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Selain catatan positif, selama tahun 2015 pemerintah juga sempat melakukan 'blunder' dengan mengundangkan peraturan presiden yang terkesan elitis dan tidak populis yaitu Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2015 tentang Pemberian Fasilitas Uang Muka Bagi Pejabat Negara Untuk Pembelian Kendaraan Perorangan (populer disebut Perpres DP Mobil Pejabat). Walaupun akhirnya setelah mendapat kritikan tajam dari publik segera dianulir kembali Oleh Presiden Joko Widodo, namun Perpres yang menaikkan fasilitas uang muka pejabat negara sebesar 85 persen itu tak urung sempat menunjukkan carut marut prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan di Istana.
Pemerintah juga dianggap tidak responsif saat membiarkan ketidakpastian atas hak konstitusional para calon tunggal dalam Pilkada yang muncul di beberapa daerah. Meskipun persoalan calon tunggal telah memenuhi syarat kondisi kegentingan yang memaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 dan dipertegas oleh Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, namun Presiden nyatanya memilih tidak segera menggunakan hak konstitusional untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang mengakomodir calon tunggal dalam Pilkada serentak 9 Desember 2015.
Untungnya Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian mengabulkan permohonan pengujian UU Pilkada, di mana MK menyatakan calon tunggal tetap dapat mengikuti Pilkada serentak dengan cara pemilih mencoblos YA atau TIDAK terhadap calon tunggal tersebut. Putusan MK ini adalah dalam rangka menjamin hak konstitusional memilih rakyat dan hak dipilih calon tunggal yang tidak boleh dikurangi tanpa alasan yang sah. Pemerintah juga dianggap hanya berwacana saat beberapa menteri dari Kabinet Kerja secara tegas dan menyakinkan menyatakan ke publik bahwa Presiden akan segera mengeluarkan Perppu tentang hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual anak dalam rangka menanggulangi meningkatnya kejahatan seksual terhadap anak. Setelah beberapa bulan sejak ide itu dilontarkan ke publik nyatanya sampai menjelang tutup tahun 2015 Perppu tersebut belum terealisasi. Padahal Perppu sebenarnya memiliki syarat dikeluarkan dalam hal terdapat kebutuhan mendesak (waktu yang cepat) untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang sementara tidak terdapat cukup waktu untuk membuat undang-undang melalui prosedur biasa.
Kuasa Mengatur secara Responsif, Partisipatif dan Populis
Potret pembentukan peraturan perundang-undangan yang responsif, partisipatif dan populis sebagaimana pernah dilakukan oleh Presiden Jokowi saat mengubah PP 27/1983 layak dijadikan contoh model pembentukan peraturan perundang-undangan baik yang dilakukan oleh DPR maupun Presiden dan para pembantunya. Pembentukan peraturan perundang-undangan yang responsif artinya ketika kebutuhan hukum utamanya dari masyarakat terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan (baru maupun perubahan) muncul secara signifikan maka pemegang kuasa mengatur harus segera menindaklanjutinya.
Partisipatif maksudnya ide pembentukan peraturan perundang-undangan tidak harus selalu muncul dari pemegang kuasa mengatur, melainkan bisa muncul dari masyarakat. Selain itu proses penyusunan dan pembahasan haruslah selalu melibatkan publik untuk memberikan pandangan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui perangkat teknologi informasi. Publik haruslah diberikan kesempatan memberikan pandangan atas seluruh ketentuan yang akan mengatur dan mengikat mereka.
Populis diartikan sebagai para pemegang kuasa mengatur harus menghindari pembentukan peraturan perundang yang ditujukan hanya untuk melindungi kepentingan lembaga tertentu atau golongan tertentu yang bertentangan dengan nalar publik yang lebih luas. Pembentukan peraturan perundang-undangan juga harus dihindarkan dari upaya memberangus hak publik untuk memberikan kritik terhadap jalannya kekuasaan baik legislatif, eksekutif dan yudikatif, mengingat kontrol publik melalui kebebasan menyatakan pendapat secara bertanggung jawab merupakan bagian dari ciri negara hukum demokratis dan secara jelas dijamin oleh konstitusi.
Oleh: Dr Bayu Dwi Anggono
Pengajar Ilmu Perundang-undangan
Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember
Sumber: http://news.detik.com/kolom/3107960/kuasa-mengatur-negara