Produser film Mira Lesmana, Riri Riza, dan Nia Dinata serta artis Dian Sastrowardoyo dan pegiat perfilman lainnya yang tergabung dalam Masyarakat Film Indonesia (MFI) berbondong-bondong datang ke Mahkamah Konstitusi (MK) (8/5). Mereka hadir tidak untuk kegiatan syuting film melainkan mengkaji konstitusi.
Bertempat di ruang kerja Ketua MK Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., Mira Lesmana menjelaskan bahwa pihaknya merasa perlu banyak belajar tentang konstitusi dan juga hak-hak konstitusional warga negara, khususnya yang berkaitan dengan masyarakat perfilman.
Ungkap Mira, hingga kini negara (pemerintah) Indonesia belum memiliki strategi kebudayaan dalam rangka mempertahankan nilai-nilai budaya tanah air dari serangan budaya impor negara-negara lain. Kita kalah dengan negara seperti Korea, Perancis, Thailand, maupun Australia yang telah memiliki policy budaya sebagai upaya proteksi dari bergulirnya pasar bebas yang disponsori WTO, jelasnya.
Salah satu sebabnya tak lain, lanjut Mira, karena ketertinggalan Indonesia dalam hal peraturan perundangan-undangannya, khususnya tentang perfilman yang dinilai masih lemah dalam mendukung kreatifitas dan melindungi hasil karya anak bangsa. Kami generasi muda Indonesia berkomitmen untuk memperbaiki kondisi bangsa. Tapi kami merasa ada kondisi yang masih perlu diperbaiki sebelum melangkah ke yang lain, sambung Dian Sastro.
Tambah Riri Riza, pengembalian 31 piala citra hanyalah simbol dari keseriusan mereka untuk memperbaiki kondisi perfilman Indonesia. Dan upaya kami lainnya, kami juga ingin menguji undang-undang perfilman, ujarnya.
Dalam uraiannya, Ketua MK menyambut baik keinginan para pegiat film yang tergabung dalam MFI untuk mengkaji konstitusi. Di awal penjelasannya, Ketua MK menceritakan sejarah munculnya judicial review undang-undang yang diawali oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat pada Tahun 1803 yang kemudian berlanjut hingga kini, lebih dari 75 persen negara anggota PBB, salah satunya Indonesia, memiliki MK.
Lebih lanjut, Jimly menerangkan bahwa MK mempunyai tugas mengawal konstitusi, mengontrol demokrasi, menafsir konstitusi, dan juga melindungi hak konstitusional warga negara. Meskipun hanya seorang warga negara, dia juga punya hak untuk menguji undang-undang yang dibuat oleh 550 anggota DPR, yang dianggap melanggar hak konstitusionalnya. Keadilan tak diukur dari kuantitas, melainkan kualitas, jelasnya.
Selain itu, Ketua MK juga menerangkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, serta wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Akhirnya, Jimly juga mengajak kepada semua pegiat perfilman untuk turut serta membangun budaya sadar berkonstitusi bagi seluruh warga negara, karena kini negara tak bisa lagi mengambil prakarsa sendiri untuk melakukannya karena nanti bisa dianggap sebagai upaya indoktrinasi. Menurut Jimly, Pesan-pesan konstitusi akan lebih efektif masuk lewat media perfilman karena konon 70 persen persepsi publik, dibentuk melalui media audiovisual seperti film maupun sinetron. Bahkan Dian Sastro mungkin bisa menjadi duta konstitusi ini, canda Jimly.
Sedangkan menanggapi keinginan MFI mengajukan judicial review tentang undang-undang perfilman, Ketua MK menjelaskan bahwa pihak MK tidak diperkenankan turut campur urusan itu demi menjaga independensi para Hakim Konstitusi. Soal itu, Jimly hanya menyarankan para pegiat MFI untuk berkonsultasi dengan para pengacara. Selain judicial review, ada baiknya MFI juga melakukan upaya legislative review ke DPR, karena selain sebagai wakil rakyat, mereka juga berwenang membuat suatu undang-undang, jelas Jimly.
Di akhir pertemuan, Dian Sastro mewakili MFI menyematkan pin bertuliskan "saya peduli film Indonesia" kepada Ketua MK. (Wiwik Budi Wasito)