Motif politik hukum Pasal 154 KUHP adalah untuk memberangus gerakan pengkritik kebijakan pemerintahan kolonial Belanda kala itu. Padahal sejatinya, kritik tidak sama dengan perbuatan jahat menghina.
Hal ini dikemukakan oleh Ahli Hukum Pidana Dr. Mudzakkir, S.H., M.H. pada sidang perkara No. 6/PUU-V/2007 tentang judicial review Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi (MK), (8/05).
Kalimat ...menyatakan di muka umum perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan... yang tercantum dalam Pasal 154 KUHP, menurut Mudzakkir dapat ditafsirkan secara luas, karena tidak ada ukuran yang pasti tentang perasaan. Untuk membatasinya, seharusnya ketentuan ini dimasukkan dalam delik materiil bukannya delik formil, jelasnya.
Sambung Mudzakkir, dalam hukum pidana dikenal adanya delik genus dan delik species. Delik genus mengatur prinsip-prinsip umum tentang delik-delik tertentu. Contoh Mudzakkir, Pasal 134 KUHP yang telah dibatalkan MK adalah delik genus. Maka, seharusnya dengan hilangnya delik genus tersebut, ketentuan delik species-nya tak lagi berlaku. Dalam pengujian Pasal 154 KUHP ini, seharusnya diuji pula pasal-pasal species yang mengikutinya, ungkapnya.
Dalam kesempatan yang sama, pihak Komisi III DPR yang diwakili oleh Akil Mochtar mempertanyakan apakah berdasarkan pemikiran Ahli Mudzakkir, masyarakat nantinya bisa bebas menghina pemerintah?
Jawab mudzakkir, setiap lembaga negara, pemerintah atau kekuasaan umum, harus dilindungi dari penghinaan, namun dengan catatan tindakan kritik tidak termasuk sebagai suatu bentuk penghinaan. Justru kritik itu penting dan diwajibkan, jelasnya.
Sebagai tambahan, Ahli dari Pemohon Dr. Jayadi Damanik, SP., M.Si. mengatakan bahwa pelanggaran HAM ada yang disengaja dan tak disengaja. Salah satu bentuk pelanggaran HAM yang tak disengaja itu bisa dalam bentuk undang-undang, terangnya. (Wiwik Budi Wasito)