Saat ini jumlah dokter dan dokter gigi yang dimiliki Indonesia masih terbatas sehingga rasio antara dokter dan penduduk sebagai pengguna layanan kesehatan jauh dari angka ideal. Kondisi tersebut menyebabkan belum optimalnya layanan kesehatan yang dapat dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Keterbatasan layanan kesehatan yang dapat diberikan oleh para dokter tersebut kini menjadi lebih terbatas lagi akibat adanya ketentuan pembatasan tempat praktek bagi para dokter dan dokter gigi hanya pada tiga tempat saja.
Pembatasan tempat praktek memang diperlukan, akan tetapi hal itu tidak perlu dimasukkan ke dalam Undang-Undang, cukup dilakukan oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) di Kabupaten/Kota setempat, kata Dr. Fachmi Idris, M.Kes, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dalam sidang perkara pengujian Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran (UUPK) di gedung Mahkamah Konstitusi (MK) hari Kamis (3/5) kemarin.
Fahmi juga menambahkan, dengan memberikan kewenangan pembatasan tempat
praktek kepada Dinkes di Kabupaten/Kota, akan memudahkan dalam pengalokasian tenaga dokter sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing. Sehingga daerah yang tidak memiliki cukup tenaga dokter, akan menyesuaikan dengan kondisi tersebut. Dengan demikian, pemberian layanan kesehatan bagi masyarakat akan lebih terjamin. Mengenai jumlahnya, hingga saat ini tidak ada naskah akademik yang menyatakan jumlah tempat praktek maksimal tiga tempat saja, tandasnya.
Selain itu, ketua organisasi korps jas putih tersebut juga menolak pemidanaan terhadap pelanggaran ketentuan-ketentuan yang menyangkut perijinan praktek karena hal itu hanyalah pelanggaran yang bersifat administratif. Over kriminalisasi membuat dokter over protective terhadap dirinya, sehingga takut untuk memberikan layanan kesehatan. Dampaknya justru masyarakat yang dirugikan, ujarnya.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh dr. Hardi Yusa, Sp.OG., MARS., Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Hardi Yusa mengatakan sanksi terhadap pelanggaran ketentuan larangan praktek tanpa penggunaan papan nama telah ada dalam kode etik profesi dokter sehingga tidak perlu dilakukan pemidanaan lagi.
Selain dua lembaga tersebut, hadir untuk memberikan keterangan pada sidang ini antara lain Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), dan Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI).
Sementara, dr. Marius, Ketua YPKKI, mengeluhkan belum adanya standar pelayanan kesehatan di Indonesia. Ketiadaan standard tersebut, menurut Marius, menyebabkan masyarakat sebagai pengguna layanan kesehatan menjadi pihak yang paling dirugikan karena berada pada posisi yang paling lemah. Kondisi tersebut menyebabkan konsumen kesehatan tidak memiliki jaminan perlindungan pada saat mereka menggunakan layanan kesehatan. Belum adanya standar operasi profesi kedokteran juga diakui oleh IDI. Namun hal itu justru menjadi salah satu alasan yang menyebabkan tidak tepatnya ketentuan pemidanaan bagi para dokter.
Sebelum menutup sidang, Ketua Majelis Hakim Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa majelis telah mendengarkan semua keterangan, baik dari para Pemohon, Pemerintah, para Ahli dan Saksi serta pihak-pihak terkait. Dengan demikian, Majelis Hakim akan memusyarwarahkan putusan perkara ini. (ardli)