RMOL. Beberapa bulan lalu, DPR sempat menggulirkan rencana merevisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (MK). Saat itu, yang dijadikan pintu masuk adalah terkait batas waktu bagi MK dalam memutus perselisihan sengketa pilkada, yang dinilai sangat singkat yakni 45 hari kerja. Wacana ini sempat memicu polemik, lalu tenggelam kemudian. Bagaimana Ketua MK menyikapi wacana tersebut? Simak wawancara Rakyat Merdeka dengan Ketua MK Arief Hidayat berikut ini;
Hingga kini apakah Anda masih mengikuti perkembangan wacana untuk merevisi Undang-Undang MK?
Saya tidak intens ke situ. Memang ada. Apa yang sudah pernah diputus MK, mengenai kewenangan MK itu, di sini memang harus ada revisi untuk melengkapi Undang-Undang MK yang ada. Itu terserah kepada DPR dan Pemerintah, silakan.
Bagaimana jika revisi ini dijadikan kesempatan untuk melemahkan MK?
Saya sebagai lembaga tidak bisa mengatakan ini nanti memperlemah MK, atau memperkuat MK, saya nggak bisa itu.
Kenapa?
Pokoknya sikap kita itu, undang-undang yang mau dibuat DPR apa, ya silakan buat. Kalau itu bertentangan dengan konstitusi, menjadi judicial review, itu menjadi kewenangan kita. Kita uji, kalau itu nggak ada, kita clear aja kita melaksanakan undang-undang. Sebagai lembaga yang melaksanakan undang-undang kita diam saja. Kita tidak bisa mengatakan, wah undang-undang itu mau memperlemah MK, undang-undang itu memperkuat MK, nggak boleh kita.
Jadi tidak masalah jika ada yang berupaya melemahkan MK?
Silakan saja pembentuk undang-undang mau mengkonstruksikan apa MK itu terserah beliau-beliau, terserah mereka. Asal pada waktu mereka membuat undang-undang harus konsisten, koheren dan berkorespondensi dengan kewenangan yang diberikan oleh konstitusi khususnya pasal 24, khususnya pasal 24c Undang-Undang Dasar 1945. Itu saja, silakan saja mau diapakan MK itu.
Anda harus terima bagaimanapun revisi itu?
Saya sebagai ketua MK akan menjalankan Undang-Undang MK dengan sebaik-baiknya apa yang sudah diputus oleh pembentuk undang-undang itu.
Kalau dimintakan pendapat?
Saya tidak..., Silakan saja mereka, mereka juga sudah tahu persis bagaimana keinginan Undang-Undang Dasar. Karena kita hanya tok punya kewenangan menguji undang-undang. Kalau kita mintanya begini, ada orang begini bagaimana nanti. Itu repot. Itu sangat harus kita jaga. Karena itu potensial menjadi perkara di MK.
Tapi apa Anda memang menganggap Undang-Undang MK masih perlu disempurnakan?
Ya tentunya apa yang sudah diputus oleh MK, itulah yang harus diakomodasikan dalam Undang-Undang MK yang baru. Itu aja.
Sejauh ini, bagaimana dunia memandang MK Indonesia?
Begini, saya baru saja yang terakhir kemarin, dua atau tiga bulan yang lalu saya diminta menjadi salah seorang pembicara di dalam kongres asosiasi MK Eropa. Salah satu orang di luar Eropa yang diminta bicara itu hanya Indonesia.
Kenapa Anda yang diundang?
Karena mereka menganggap, MK Indonesia sudah menjadi model percontohan dari MK yang ada di dunia ini.
Apa yang Anda bicarakan?
Salah satu topik yang diminta oleh asosiasi MK Eropa, yang harus saya sampaikan di sana adalah yang berhubungan dengan ini, perjanjian Internasional masuk menjadi hukum nasional melalui proses ratifikasi. Melalui proses ratifikasi, perjanjian internasional itu menjadi undang-undang, karena MK itu menguji undang-undang, maka undang-undang ratifikasi itu pun menjadi kewenangan MK untuk mengujinya. Nah itu saya ceritakan di sana.
Respons mereka?
Oh mereka menjadikan pelajaran penting dan bahan sharing yang luar biasa makalah saya. Dan Indonesia dianggap menjadi model MK yang baik, praktek MK yang baik. Dan mereka sangat mengapresiasi MK telah mampu menyelesaikan Pileg dan Pilpres tahun 2014. Sehingga Pileg 2014 selesai dengan baik, hasil Pilpres bisa selesai dengan baik. Dan MK punya peranan untuk menjadi suatu lembaga yang diberi tugas sebagai the guardian of constitution dan the guardian of democracy.
Sumber: http://www.rmol.co/read/2015/12/19/228752/Arief-Hidayat:-Kita-Tidak-Bisa-Mengatakan,-Wah-Revisi-Undang-undang-Itu-Mau-Perlemah-MK-