JAKARTA - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memprediksikan akan “kebanjiran” sengketa pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dalam pelaksanaan Pilkada 9 Desember 2015. Gugatan pilkada bakal lebih banyak ke DKPP karena ada pembatasan persyaratan pengajuan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Anggota DKPP, Nur Hidayat Sardini, menduga pengajuan gugatan ke DKPP akan marak setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan calon kepala daerah pada 18-19 Desember.
Seperti diketahui, DKPP adalah lembaga yang berwenang mengadili dugaan pelanggaran etika pada penyelenggaraan pemilu/pilkada. Gugatan perselisihan hasil pemilu hanya bisa dilakukan ke MK. Namun, UU No 8/2015 soal Pilkada menyatakan gugatan ke MK hanya bisa diajukan jika selisih suara calon penggugat dengan calon pemenang hanya 0,5-2 persen.
“Banyak gugatan pelanggaran etika penyelenggara pemilu selama Pilkada Serentak 2015 yang sudah masuk ke DKPP. Per Juni sampai 15 Desember, sudah masuk 248 pengaduan. Kalau gugatan pelanggaran etika dari penetapan hasil pilkada belum ada yang masuk, nanti setelah 18-19 Desember baru ada," kata Nur Hidayat, di Jakarta, Rabu (16/12).
Nur menjelaskan, pihaknya tidak dapat menolak pengaduan pelanggaran kode etik dari peserta pilkada, tim sukses, maupun masyarakat. DKPP hanya dapat memberikan imbauan kepada penyelenggara pemilu untuk bekerja sesuai peraturan perundang-undangan serta mengutamakan kepentingan masyarakat.
Namun, ia menjamin, pihaknya siap menangani banyaknya gugatan yang masuk sebelum maupun sesudah pelaksanaan pilkada serentak. “Sejak dibentuk kami sudah siap menangani banyaknya gugatan ke DKPP. Selama setahun ini kami sudah memecat 300 penyelenggara pemilu,” ucapnya.
Ketua DKPP, Jimly Asshiddiqie mengungkapkan, pembatasan gugatan hasil pilkada oleh MK yakni 0,5-2 persen suara berpengaruh terkait banyaknya gugatan yang akan masuk ke DKPP. “Jadi, ini gejala baru. Pengetatan syarat mengurangi beban, tetapi beban MK. Beban MK berkurang, tetapi penyelenggara pemilu lari ke DKPP,” ucap Jimly.
Ia menilai, pelaksanaan pilkada serentak berjalan dengan sukses. Namun, terdapat penundaan pelaksanaan Pilkada Serentak 2015 di lima daerah, yakni Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng), Kabupaten Fakfak (Papua Barat), Kabupaten Pematangsiantar, Kabupaten Simalungun (Sumatera Utara), dan Kota Manado (Sulawesi Utara). Ini membuat adanya kemungkinan aduan ke pihaknya.
“Cara kerja penyelenggara pemilu ada saja masalah. Kami sudah pecat 300 orang, tapi yang kami rehabilitasi ribuan. Artinya, tidak terbukti penyelenggara pemilu jadi sasaran tembak,” tuturnya.
Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Daniel Zuchron menyatakan, Bawaslu mendapat laporan dari banyak pihak, khususnya pasangan calon dengan potensi kekalahan yang meminta agar pemungutan suara diulang.
“Hari ini, kami mendapat laporan dari banyak pihak, khususnya pasangan calon yang sudah mengetahui hasil pemilihan dengan potensi kekalahan. Kalau yang menang, diam saja. Itu laporannya masuk,” kata Daniel di Jakarta, Rabu.
Menurut Daniel, dalam laporan itu, selain banyak yang meminta pemungutan suara diulang, banyak juga yang meminta untuk membongkar kembali soal money politics saat masa tenang.
“Namun, kami tidak bisa memberikan itu semua karena yang bisa membatalkan atau menganulir hasil pilkada adalah mahkamah atau pengadilan,” ucap Daniel.
Ia mengatakan, penyelenggara hanya bisa memastikan hal-hal yang bersifat teknis, misalnya menjamin terkait keutuhan hasil jumlah surat suara yang dicoblos di TPS sampai proses rekapitulasinya.
“Paling banter kami hanya akan berikan rekomendasi untuk pemungutan suara ulang,” ucap Daniel.
Anggota Komisi II DPR, Arteri menuturkan, banyaknya gugatan ke DKPP untuk penguatan alat bukti dalam persidangan MK. Namun, DKPP tidak dapat mengubah hasil pilkada. Jadi, ia berharap semua pihak tidak berlomba-lomba adu cepat ke DKPP untuk memberikan intervensi terhadap MK.
“DKPP harus arif dan bijaksana. Jangan sampai jadi pahlawan kesiangan yang membuat karut-marut hasil pilkada yang sudah bisa diterima rakyat,” tutur Arteria.
Ia menambahkan, pembatasan gugatan hasil pilkada di MK tidak dapat disalahkan. Pasalnya, belum ada penelitian yang membuktikan adanya pelanggaran akan memengaruhi perolehan suara.
“Jadi, jangan sampai seperti saat ini libido pasangan calon yang kalah tinggi untuk menyatakan banyak pelanggaran, tapi sesungguhnya mereka belum dapat membuktikan korelasi langsung pelanggaran terhadap perolehan suara,” serunya.
Pengamat hukum tata negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masnur Marzuki mengemukakan, DKPP akan kebanjiran gugatan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu pada Pilkada Sserentak 2015 ini. “Kalau kasus di DKPP bertumpuk sudah pasti. Bahkan, sebelum gelaran hari pencoblosan dimulai, sudah banyak sidang berlangsung di DKPP,” tuturnya. (Ant)
Sumber: http://www.sinarharapan.co/news/read/151217175/gugatan-etika-penyelenggara-pilkada-bakal-marak