RMOL. Pilkada serentak sudah rampung. Proses rekapitulasi suara di sejumlah daerahsedang berlangsung. Melihat progres tersebut, Mahkamah Konstitusi pun kini sudah bersiap menyidangkan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) kepala daerah. Ketua MK Arief Hidayat yang ditemui Rakyat Merdeka di ruang kerjanya Selasa (15/12) lalu mengaku tengah dalam kondisi kurang fit. "Saya sedang flu," akunya.
Namun Ia tetap optimistis semua hakim MK dapat menyelesaikan tugas. Seperti diketahui, tugas MK menyidangkan PHPU pilkada kali ini cukup berat. Sebab, dalam jangka waktu 45 hari, MK dituntut mampu menyelesaikan seluruh sengketa pilkada. Berikut wawancara selengkapnya;
Sejauh ini apa saja persiapan MK untuk menyidangkan gugatan PHPU pilkada serentak?
MK sudah menyiapkan semuanya sejak awal sebagai tindak lanjut Undang-Undang Pilkada. Undang-undang yang tadinya Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) kemudian menjadi undang-undang itu ternyata kemarin masih banyak pasal-pasal dimintakan judicial review, tapi Alhamdulillah semua akhirnya semua sudah diputus oleh Mahkamah terlebih dahulu. Karena kalau tidak diputuskan dengan prioritas segera maka itu bisa menghambat pelaksanaan pilkada serentak. Oleh karena itu, sudah diputus sehingga putusan-putusan Mahkamah sudah ditindaklanjuti dan dilaksanakan oleh KPU dan Bawaslu untuk pilkada tanggal 9 kemarin.
Apa saja poin penting putusan MK dalam persiapan pilkada serentak itu?
Ada beberapa hal yang penting di situ; Pertama, (terkait pilkada) yang (hanya diikuti calon) satu pasangan saja, ternyata pelaksanaan nggak ada masalah, di Tasikmalaya, Blitar, dan lainnya semuanya tetap berjalan lancar. Itukan baik, nggak ada masalah. Hasilnya juga bisa kita lihat nggak ada masalah. Kemudian juga yang ada hubungannya dengan petahana, nggak ada masalah juga.
Waktu itu banyak juga yang kecewa dengan putusan MK, karena ikut menyuburkan politik dinasti. Tanggapan Anda?
Ya kalau itu hak konstitusional warga kan. Tapi toh buktinya banyak juga calon petahana yang kalah. Yang politik dinasti yang berhubungan dengan itu yang kalah juga ada. Jadi itu kan objektif dan wajar. Memang nggak ada masalah, di negara lain pun nggak ada masalah.
Mekanisme penanganan gugatan perkara pilkada kali ini bagaimana?
Kita sudah menyiapkan tiga panel nanti yang akan memeriksa, tetapi putusan tetap diambil oleh sembilan hakim. Tapi kita bagi pemeriksaannya tiga panel. Panel A, B, C. Sehingga seluruhnya, panitera, panitera pengganti juga yang mendukung kita bagi menjadi tiga panel. Itu sudah kita siapkan semua. Kemudian kita juga menyiapkan sosialisasi pada penyelenggara; KPU, Bawaslu, pasangan calon juga ada.
Apa langkah MK menindaklanjuti aturan pilkada baru yang mensyaratkan selisih suara yang bisa ditangani MK dibatasi maksimal dua persen dari jumlah penduduk?
Tidak hanya dua persen. Jadi penjelasannya adalah; untuk penduduk yang lebih dari dua juta di dua persen, untuk penduduk sekian satu setengah persen, lalu satu persen hingga setengah persen. Jadi aturannya itu setengah persen sampai dua persen selisihnya.
Kalau mau lengkap di pasal 158 sudah dijabarkan, juga di dalam PMK (Putusan MK)-nya. Kalau kabupaten jumlah penduduknya cuma 250 ribu itu kenanya setengah persen. Kalau lebih dari dua persen tidak bisa berperkara di sini. Tapi untuk provinsi yang penduduknya lebih dari dua juta itu kena dua persen.
Artinya untuk kasus yang selisih suara di atas dua persen,tidak bisa lagi mengajukan gugatan ke MK?
Iya. Kalau selisihnya jauh ngapain datang ke sini. Misalnya begini, satu pasangan calon memperoleh 80 persen, yang satu cuma dapat 5 persen, kalau seperti itu kan mau diapa-apakan susah.
Kenapa parameternya didasarkan pada jumlah penduduk bukannya jumlah pemilih?
Lho itu kan amanat undang-undang, bukan MK yang menentukan. Itu adanya di Undang-Undang Pilkada.
Kita kan menjalankan undang-undang, KPU menjalankan undang-undang, seluruhnya menjalankan undang-undang. Dan Undang-Undang Pilkada itu kan bukan MK yang buat, tapi DPR. Saya nggak boleh memberikan masukan, nggak etis itu. (Kecuali) nanti ada judicial review. Saya ini nggak boleh memberikan masukan bagaimana undang-undang yang baik. Hakim Konstitusi tidak boleh berkomentar mengenai baik atau buruknya undang-undang. Karena itu potensial menjadi perkara judicial review.
Ada yang mengkritik, pembatasan dua persen itu melanggar hak konstitusional warga negara?
Nggak... Nggak. Hak konstitusi di mana sih. Itu politik hukum pembentuk undang-undang kok.
Bagaimana nasib gugatan sengketa Pilkada yang pelanggarannya bersifat terstruktur, sistemik dan masif?
Kalau sekarang kan undang-undang mengkonstruksikan kita menyelesaikan (PHPU) sebagai Mahkamah Kalkulator.
Mahkamah kalkulator, maksud Anda?
Iya. Kita kan hanya mengenai angka-angka. Kan kemarin Rakyat Merdeka sendiri yang menulis pernyataan Prof Jimly (Asshiddiqie) yang mengatakan untuk masalah-masalah yang berhubungan dengan PHPU, hasil pemilu, pilkada itu (ditangani) MK. Untuk masalah yang lain diserahkan kepada badan peradilan yang lain, kan gitu.
Tanggapan Anda sendiri mengenai wacana pengadilan khusus pemilu bagaimana?
Memang pilkada semestinya tidak diselesaikan di Mahkamah Konstitusi, harus dibentuk badan peradilan khusus. Karena kewenangan MK itu secara limitatif ditentukan dalam Undang-Undang Dasar. Sekarang kita mengadili perkara pilkada, karena masa transisi, karena belum ada badan peradilan khusus yang menyelesaikan PHPU, kan gitu. Jadi ini kewenangan sampingan. Kewenangan yang karena masa transisi. MK nggak akan menyelesaikan masalah pilkada lagi, kalau sudah ada (badan peradilan khusus pemilu).
Sumber: http://www.rmol.co/read/2015/12/17/228476/Arief-Hidayat:-Undang-undang-Konstruksikan-Kita-Sebagai-Mahkamah-Kalkulator-