Pemerintah tak mungkin menghilangkan klausula pemidanaan untuk menindak pelaku anarkis dalam kegiatan menyampaikan pendapat di muka umum.
Pendapat ini dikemukakan oleh Direktur Jenderal HAM Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.H. selaku wakil dari Pemerintah dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK) tentang judicial review Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Perkara No. 6/PUU-V/2007 yang dimohonkan oleh seorang dokter sekaligus Direktur Forum Komunikasi Antar-Barak (FORAK) Dr. R. Panji Utomo dengan Kuasa Hukum A.H. Wakil Kamal, S.H., dengan agenda mendengarkan keterangan Pemerintah dan DPR.
Dalam opening statement-nya, Harkristuti menyatakan bahwa fungsi hukum pidana antara lain dalam rangka melindungi kepentingan hukum negara, masyarakat, dan pelaku tindak pidana itu sendiri. Khususnya terhadap kepentingan negara maka diperlukan pengaturan terhadap perbuatan apa saja yang dapat dianggap dapat merugikan dan merongrong kewibawaan negara, jelasnya.
Untuk itu, lanjut Harkristuti, dalam Rancangan Undang-undang Hukum Pidana, pemerintah tetap memasukkan klausula Pasal 154 KUHP yang diubah menjadi Pasal 284, dengan mengubah delik pidananya dari delik formil ke delik materiil. Jadi nantinya sanksi pidana tersebut bisa dikenakan apabila ada akibat dari kegiatan penyampaian pendapat tersebut, lanjut Guru Besar Hukum Pidana ini.
Berseberangan dengan Pemerintah, Pemohon justru merasa dirugikan hak konstitusionalnya berkat berlakunya Pasal 154 KUHP tersebut. Negara dalam hal ini pihak aparat kepolisian dinilai telah bertindak sewenang-wenang, karena aksi damai yang berakhir ricuh di depan kantor Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias sebenarnya dipicu oleh pihak aparat. Namun, Pemohon yang kala itu menjadi bagian dari tim negosiasi, justru ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka dan pada akhirnya divonis bersalah berdasarkan pasal KUHP di atas. Oleh karena itu kami mengajukan uji materi pasal ini, supaya ke depan ada perbaikan dalam penegakan hukum pidana Indonesia, jelas Kuasa Hukum Pemohon A. H. Wakil Kamal, S.H.
Oleh karena itu, dalam petitumnya yang dikemukakan sebelum mendengarkan keterangan Pemerintah, Pemohon melalui kuasa hukumnya meminta Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 107, Pasal 154, Pasal 155, Pasal 160, Pasal 161, Pasal 207, dan Pasal 208 KUHP bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam persidangan ini belum bisa didengar keterangan dari DPR karena anggota lembaga tersebut masih dalam masa reses. (Wiwik Budi Wasito)