Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak dapat menerima permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase) yang dimohonkan oleh PT. Indiratex Spindo yang diwakili direktur utamanya, Ongkowijoyo Onggowarsito. Setelah melalui serangkaian sidang pemeriksaan dan pembuktian, Mahkamah berkesimpulan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan.
“Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ucap Wakil Ketua MK Anwar Usman selaku pimpinan sidang membacakan Putusan Nomor 19/PUU-XIII/2015 pada Kamis (10/12), di Ruang Sidang Pleno MK.
Menurut Mahkamah, kerugian yang dialami Pemohon bukanlah kerugian hak konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 Undang-Undang MK, sehingga Pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan hukum. Mahkamah menjelaskan, kerugian yang dialami Pemohon bukan dikarenakan oleh berlakunya ketentuan yang diujikan, yakni Pasal 67 ayat (1) dan Pasal 71 UU Arbitrase. Melainkan semata-mata kerugian ekonomi atau finansial yang timbul dari putusan arbitrase internasional, yakniPutusan The Internasional Cotton Association Limited (ICA), yang mewajibkan Pemohon membayar ganti kerugian kepada pihak lawannya.
Terkait dengan Pasal 67 ayat (1) UU Arbitrase yang mengatur tentang pelaksanaan putusan arbitrase internasional, Mahkamah berpendapat, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan putusan arbitrase internasional. Hak Pemohon untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrase tidak hilang. Sebab Pasal 67 ayat 1 UU Arbitrase tidak menghalangi atau menghilangkan hak yang Pemohon untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrase. Hak Pemohon tetap ada, namun harus diajukan di Pengadilan Inggris menurut ketentuan hukum Inggris, di mana tempat kedudukan ICA, bukan di Indonesia.
Adapun mengenai Pasal 71 UU Arbitrase, menurut Mahkamah ketentuan tersebut mengatur tentang jangka waktu permohonan pembatalan putusan arbitrase nasional, bukan jangka waktu permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional yang menjadi titik tolak permohonan Pemohon. Dalam hal ini, jelas mahkamah,Pemohon telah mencampuradukkan dua substasi pengaturan yang berbeda dan tidak saling berhubungan.
Lebih lanjut Mahkamah berpendapat, andaikata benar dalil Pemohon bahwa pihaknya telah dirugikan, maka apabila permohonan dikabulkan, seharusnya kerugian Pemohon tidak akan terjadi. Namun yang akan terjadi tidaklah demikian, sebab Pemohon tetap tidak dapat mengajukan pembatalan putusan arbitrase internasional di Indonesia.
Untuk diketahui, terjadi perselisihan kontrak jual beli kapas di Forum Arbitrase di Liverpool, yaitu antara Ongkowijoyo Onggowarsito sebagai pembeli dan Everseason Enterprises sebagai penjual. Dalam amar putusannya, ICA memutuskan Ongkowijoyo Onggowarsito (Pemohon) adalah pihak yang harus membayar ganti rugi kepada Everseason Enterprises.
Dalam permohonan, Pemohon melalui kuasa hukumnya Fahmi Bachmid mendalilkan, UU Arbitrase telah merugikan haknya sebagai warga negara terkait adanya perlakuan berbeda antara pihak-pihak yang terlibat dalam arbitrase nasional maupun internasional yang dilaksanakan dengan mengacu pada tenggang waktu sejak putusan diserahkan atau didaftarkan. Pendaftaran dan penyerahan putusan arbitrase internasional tidak ditentukan batas waktunya. Sementara pada penyerahan arbitrase nasional, secara tegas membatasi sampai dengan 30 ( tiga puluh hari ) sejak putusan diucapkan. (Julie/IR)