Besok 9 Desember 2015, sebanyak sembilan provinsi dan 269 kabupaten/kota di seluruh Indonesia, menggelar Pilkada (pemilihan kepala daerah) serentak. Kendati Pilkada berlangsung bersamaan, namun gaungnya masih tetap saja hambar.
Daya tarik Pilkada itu, rendah. Masyarakat yang sudah terdaftar sebagai calon pemilihpun tidak begitu bergairah. Seharusnya, rakyat menyambutnya dengan antusias atau bersemangat. Betapa tidak, sebab warga yang mempunyai hak suara untuk memilih salah satu calon pemimpin di daerahnya itu adalah “penentu”. Satu suara saja yang diberikan, menjadi penentu kemenangan dari calon-calon kepala daerah yang bersaing.
Saat menuju bilik suara untuk menentukan pilihannya, rakyat yang mempunyai hak suara itu mempunyai pertimbangan mengapa ia memilih salah satu pasangan calon di antara calon yang ditampilkan di daerahnya. Mereka inilah yang menentukan, siapa yang bakal menjadi gubernur, walikota atau bupati lima tahun ke depan.
Pertimbangan dukungan yang menjadi alasan seorang pemegang hak suara di dalam bilik suara, tentu tidak sama antara satu dengan yang lain. Ada yang berdalih, karena satu partai, hubungan kekerabatan, hubungan keluarga, satu komunitas, simpati atas keberhasilan calon itu sebelumnya. Tentu ada juga yang melakukan pilihan, karena pengaruh pihak tertentu. Bahkan, juga datang ke bilik suara, karena dijanjikan atau sudah mendapat imbalan.
Politik uang atau money politic, memang rawan. Apalagi hari ini menjelang coblosan besok pagi adalah hari tenang yang menghanyutkan. Bahkan, istilah “serangan fajar” juga lazim terjadi di saat kritis tersebut. Uang, uang, uang. Ayo siapa yang tidak mau uang? Pasti politik uang ini akan dilakukan oleh tim pemenangan yang nekad.
Walaupun ada aturan dan larangan tentang politik uang oleh calon, pasangan calon dan atau tim pemenangan, seperti yang tertulis dalam Undang-Undang No 8 tahun 2015, namun tidak bertuang sanksi pidana terhadap pelaku pelanggaran itu. Di sinilah adanya peluang, untuk berpolitik uang. Siapa yang kuat dan lebih besar memberikan imbalan, tentu pasangan calon yang itu yang bakal dicoblos. Memang, itu teori. Tetapi ada juga suara sumbang yang sering kita dengar. “Terima uangnya, jangan pilih orangnya”.
Atau, ada juga suara lain yang mengatakan: “terima uangnya, tetapi pilihan tetap pada keyakinan”. Tidak hanya itu, permasalahan yang mencuat ke permukaan dalam Pilkada serentak tahun 2015 ini. Kecenderungan jumlah pemilih tidak sebanyak pemilihan pada Pemilu (Pemilihan Umum) Legislatif, juga terasa. Bayang-bayang kemenangan berpihak kepada Golput (Golongan Putih), yakni tidak ikut memilih juga besar. Meskipun pihak panitia menggeber spanduk dengan tulisan “Tidak Mencoblos itu Bukan Pilihan”.
Untuk daerah Jawa Timur (Jatim) memang tidak memilih gubernur. Dari 38 kabupaten/kota, sebanyak 19 daerah mengikuti Pilkada serentak. Masing-masing persaingan antarpasangan. Khusus Kabupaten Blitar, hanya diikuti satu pasangan calon atau calon tunggal. Gubernur Jatim, Dr H Soekarwo, menyatakan insyaallah pelaksanaan Pilkada di Jatim berjalan lancar. Keamanan, juga diharapkan terkendali. Sebab, ujar Pakde Karwo – begitu Soekarwo akrab disapa – koordinasi Forum Pimpinan daerah (Forpimda) Provinsi dan juga Forpimda kabupaten/kota berjalan baik.
Di berbagai daerah daerah lainnya di Indonesia memang biasa-biasa saja. Tidak terkesan sibuk seperti pemilu Legislatif, di Banyuwangi juga terkesan sepi, tanpa hiruk pikuk. Malah yang ramai masyarakat Glenmore memprotes pembangunan jalan lintas selatan, yang ganti ruginya tidak merata atau tidak sama. Pesta demokrasi yang diharapkan meriah, ternyata jauh dari gegap gempita. Partisipasi pemilih rendah. Namun, aroma politik uang tercium bakal tumpah ruah dalam serangan fajar.
Yang cukup menarik, memang pilkada serentak yang ada pemilihan gubernurnya. Sebab di provinsi itu, kertas suaranya ada dua macam. Memilih gubernur dan memilih bupati atau walikota. Samar-samar, konon di beberapa daerah, pelaksanaan Pilkada tanggal 9 Desember 2015 itu, belum pertanda final. Masih berlanjut. Ada buntut gugat menggugat dan saling gugat. Sehingga, setelah perhitungan suara, masih ada sidang penentu kemenangan di Mahkamah Konstitusi (MK). Baunya seperti itu, terjadi apa tidak? Kita lihat besok. (*)
Sumber: http://www.beritametro.co.id/catatan-metro/besok-pilkada-serentak-semoga-bukan-mk-yang-menentukan