Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (UU Perkebunan) - Perkara No.138/PUU-XIII/2015 yang diajukan oleh beberapa organisasi petani, pada Senin (7/12) siang. Dalam sidang tersebut, Ridwan Darmawan selaku kuasa hukum Pemohon menyampaikan perbaikan permohonan kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
“Utamanya adalah persoalan pada legal standing yang banyak disorot oleh Mahkamah pada persidangan terdahulu, kami lakukan perbaikan. Kemudian kami memasukkan beberapa putusan Mahkamah terdahulu. Selain itu para Pemohon menjelaskan lebih detail soal kerugian konstitusional, hak personal yang dilanggar akibat pemberlakuan pasal-pasal yang dimohonkan ini,” jelas Ridwan di Ruang Sidang MK.
“Sementara secara substansi, kami tidak banyak mengubahnya, hanya menambahkan beberapa poin seperti yang disarankan oleh Majelis Hakim pada sidang terdahulu.Terkait di Pasal 12 dan Pasal 13 UU Perkebunan mengenai masyarakat adat, kami masukkan putusan Mahkamah Nomor 35. Itu pokok-pokok perbaikan yang kami ajukan Yang Mulia. Terima kasih,” imbuh Ridwan.
Hakim Konstitusi Suhartoyo kemudian mempertanyakan kelengkapan tanda tangan kuasa hukum terhadap surat kuasa. “Saudara Pemohon, pada sidang sebelumnya kita ingatkan dalam permohonan Saudara ada satu kuasa yang dicantumkan, juga namanya memang di surat kuasa juga sudah tanda tangan. Tapi kemudian dalam permohonan belum ada tanda tangan Pak Agustinus Karlo,” kata Suhartoyo.
Sementara itu, Wahiduddin menyatakan akan melaporkan hasil perbaikan permohonan Pemohon ke Rapat Permusyawaratan Hakim. “Baik, jika dipandang cukup untuk perbaikan permohonan ini, akan kita laporkan terlebih dahulu di Rapat Permusyawaratan Hakim. Nanti disampaikan informasi lebih lanjut mengenai permohonan ini,” terang Wahiduddin.
Para Pemohon adalah sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang peduli nasib petani kecil, yakni Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Perkumpulan Sawit Watch (PSW), Aliansi Petani Indonesia (API) dan Serikat Petani Indonesia (SPI). Pemohon menguji Pasal 12, Pasal 13, Pasal 27 ayat (3), Pasal 29, Pasal 30 ayat (1), Pasal 42, Pasal 55, Pasal 57, Pasal 58 ayat (1), Pasal 58 ayat (2), Pasal 107 dan Pasal 114 ayat (3) UU Perkebunan
Menurut Pemohon, pengaturan mengenai kerja sama berdasarkan pola tertentu seperti yang tercantum dalam Pasal 57 UU Perkebunan melanggar hak konstitusional petani. Sebab, perjanjian pola kerja sama seringkali dibuat secara sepihak oleh perusahaan. Selain itu, Pemohon juga mempersoalkan mengenai adanya diskriminasi yang terjadi antara ketentuan bagi penanaman modal asing dengan dalam negeri. Jika terjadi penanaman modal asing yang tidak sesuai dengan Pasal 95 UU Perkebunan, maka para pemodal asing diberi waktu penyesuaian setelah hak guna usahanya berakhir. Hal berbeda dengan pemodal dalam negeri yang harus menunggu hingga lima tahun lamanya.
Kemudian, terkait pasal pranata musyawarah yang dinilai Pemohon mengabaikan hak masyarakat adat. Pemohon menilai hal tersebut merupakan bentuk pelanggaran konstitusi, yaitu tidak mengakui salah satu eksistensi masyarakat adat serta menghalangi jaminan kepastian hukum dengan tidak diakuinya pranata dan perangkat hukum masyarakat adat. (Nano Tresna Arfana/IR)