Mahkamah Konstitusi (MK) memutus menolak uji materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang dimohonkan oleh dua orang advokat, Muhammad Sholeh dan Ruli Nugroho. Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf d UU advokat tidak mengandung tafsir yang menimbulkan pembedaan kedudukan dan perlakuan.
“Mengadili, menyatakan menolak permohonan para Pemohon,” ujar Wakil Ketua MK Anwar Usman mengucapkan amar Putusan Perkara Nomor 84/PUU-XIII/2015 di Ruang Sidang Pleno MK, Senin (7/12).
Menurut Mahkamah, ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d UU Advokat yang mengatur syarat batas usia minimal bagi seseorang untuk dapat menjadi advokat, yaitu sekurang-kurangnya 25 tahun, tidak mengandung tafsir yang menimbulkan pembedaan kedudukan dan perlakuan, ketidakadilan, ketidakpastian hukum, maupun diskriminasi. Ketentuan tersebut jelas ditujukan bagi semua calon advokat tanpa membeda-bedakan atau melakukan kategorisasi tertentu.
“Kompetisi yang terjadi akibat syarat ini adalah sebuah kompetisi sederhana, yaitu calon advokat yang telah berusia 25 tahun akan mengalahkan calon advokat yang belum berusia 25 tahun. Dalam kompetisi sederhana seperti ini, pembedaan atau kategorisasi antara “advokat tulen” dengan “advokat pensiunan” tidak relevan untuk dijadikan isu konstitusionalitas,” ujar Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna membacakan pertimbangan hukum Mahkamah.
Oleh karena itu, Mahkamah menekankan, ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf d UU Advokat tidak menimbulkan ketidakadilan, ketidakpastian hukum, maupun diskriminasi. Ketentuan dimaksud justru merupakan wujud dari kesetaraan kedudukan dan perlakuan bagi semua calon advokat.
Harmonisasi
Terkait dengan isu harmonisasi peraturan perundang-undangan, Mahkamah sependapat dengan para Pemohon dan menemukan fakta hukum bahwa tidak ada pengaturan batas usia maksimal bagi calon advokat, seperti undang-undang profesi lain. Fakta hukum demikian, menurut Mahkamah, memperkuat indikasi bahwa harmonisasi antar peraturan perundang-undangan masih belum menjadi perhatian pembentuk Undang-Undang.
“Dengan kata lain, Mahkamah berpendapat bahwa ketika terhadap profesi lain diatur mengenai batas usia minimal dan batas usia maksimal untuk mendaftarkan diri menjadi calon, seyogyanya pembentuk Undang-Undang juga mengatur hal yang sama untuk profesi lain, termasuk advokat,” tegas Palguna.
Namun, dinilai dari sisi konstitusionalitasnya, Mahkamah menilai disharmonisasi pengaturan usia maksimal dalam UU Advokat dengan pengaturan profesi lain bukan merupakan perintah UUD 1945 dan tidak pula bertentangan dengan norma-norma yang menjadi prinsip umum UUD 1945.
Sebelumnya, para Pemohon mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya dirugikan oleh keberadaan Pasal 3 ayat (1) huruf d UU Advokat. Sebab, ketentuan tersebut hanya mengatur batas usia minimal bagi seseorang untuk menjadi advokat, tanpa disertai pengaturan batas maksimal seseorang untuk menjadi advokat. Ketiadaan batas maksimal demikian mengakibatkan terbukanya peluang bagi para pensiunan, terutama pensiunan polisi, jaksa, dan hakim, untuk menjadi advokat.
Padahal menurut para Pemohon, pensiunnya seseorang dari jabatan semula menunjukkan bahwa yang bersangkutan oleh negara telah dinilai tidak memiliki lagi kemampuan fisik maupun psikis untuk memberikan pelayanan tertentu. Ketidakmampuan inilah yang didalilkan para Pemohon akan merugikan klien ketika para pensiunan ini menjadi advokat. Namun di sisi lain, status para advokat yang berasal dari pensiunan polisi, jaksa, dan hakim, menurut Pemohon akan membuat klien lebih memilih mereka dengan asumsi advokat bersangkutan mampu mempengaruhi rekan kerja mereka di masa lalu. Pilihan klien inilah yang turut menimbulkan kerugian terhadap advokat yang sejak awal memang berprofesi sebagai advokat. (Lulu Hanifah/IR)