Kejahatan narkotika tak termasuk dalam kejahatan serius yang patut dikenai sanksi hukuman mati, karena kejahatan narkoba tak secara langsung mengakibatkan kematian pada manusia.
Demikian keterangan melalui video conference dari Profesor Philip Alston, New York University School of Law, Amerika Serikat, yang diajukan sebagai Ahli oleh Pemohon pada perkara judicial review UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (UU Narkotika) terhadap UUD 1945, Rabu 18 April 2007 pukul 10.00 WIB di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), dengan agenda mendengarkan keterangan Ahli dari Pemohon, Pemerintah, dan Badan Narkotika Nasional (BNN).
Alston juga memaparkan bahwa hukuman mati masih banyak diberlakukan di negara-negara asia, negara-negara amerika latin sudah mulai menghapus, sedangkan negara-negara eropa telah sama sekali menghapus hukuman itu. Namun perlu tidaknya sanksi hukuman mati pada akhirnya dikembalikan pada kebijakan hukum negara-negara yang bersangkutan dengan tetap memperhatikan ketentuan hukum internasional yang ada, jelasnya.
Keterangan lain, Ahli Pemohon Prof. Dr. J. E. Sahetapy, S.H., M.A. mengatakan bahwa di Belanda sendiri, hukuman mati sudah dihapus sejak Tahun 1870. Untuk itu, kenapa Wetboek van Strafrecht atau WvS (KUHP red.) masih harus dipertahankan. Bila ingin mempertahankan hukuman mati, ganti saja nama Lembaga Pemasyarakatan itu yang sebenarnya berfungsi untuk memasyarakatkan kembali para narapidana, jelas Sahetapy.
Sementara itu, Ahli Pemohon lainnya, Direktur Eksekutif Imparsial Rachland Nashidik mengatakan bahwa sebetulnya jenis dari apa yang disebut sebagai non derogable rights (hak yang tak bisa dikurangi dalam keadaan apapun) itu berbeda-beda. Di dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) ada tujuh jenis non derogable rights yang diakui. Di European Convention on Human Rights cuma ada empat yang sudah dimaktubkan di dalam ICCPR. Sementara di Amerika sendiri itu ada sebelas jenis hak yang diakui sebagai non derogable rights.
Lanjut Rachland, sebenarnya The core of rights (hak inti) dari non derogable rights itu ada empat hal, antara lain, pertama, right to life, hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat. Kedua, hak untuk tidak dianiaya. Ketiga, right to free from slavery atau hak bebas dari perbudakan atau diperhambakan. Keempat, hak untuk tidak diadili oleh post facto law atau hukum yang berlaku surut.
Di lain pihak, Ahli dari BNN KRH Henry Yosodiningrat, S.H. menyuguhkan data bahwa sekitar 40 orang mati setiap hari akibat narkoba. Dalam sehari, nominal transaksi narkoba yang terjadi mencapai Rp. 800 miliar karena 4 juta orang yang kecanduan setidaknya per hari rata-rata melakukan transaksi sebesar Rp. 200.000,00 sehingga total setahun bisa mencapai Rp. 292 triliun.
Tambah Henry, hampir seluruh lembaga pemasyarakatan, 70 persennya dihuni oleh pelaku kejahatan narkotika, baik itu pelaku maupun pengguna. Kini, saya berani menyatakan bahwa tak ada satupun kecamatan yang bebas narkotika. Di Jakarta, masih adakah satu RT yang bebas narkoba? Masih adakah SMU yang bebas narkoba? Saya berani jawab, tidak ada! papar Henry.
Atas alasan itu, menurut Henry keberlakuan Pasal 28I UUD 1945 yang memuat ketentuan tentang non derogable rights, tidak boleh dipahami secara mandiri, melainkan dibatasi oleh ketentuan dalam Pasal 28J UUD 1945.
Sedangkan Ahli dari BNN Prof. Dr. Ahmad Ali, S.H., M.H. menyatakan bila dalam pelanggaran HAM berat dikenal adanya keadilan transisional yang di dalamnya terdapat restorative justice yang memungkinkan dilakukan rekonsiliasi, maka dalam kejahatan narkoba, tidak ada satupun negara yang melakukan rekonsiliasi dengan pengedar narkoba.
Menanggapi pernyataan di atas, Rachland Nashidik mengemukakan bahwa ketentuan mengenai non derogable rights di tiap-tiap negara memang berbeda. Mungkin dalam amandemen konstitusi berikutnya, diusulkan saja untuk memasukkan hak bebas dari narkotika supaya negara nanti memiliki kewajiban untuk melindungi hak warga negara dari kejahatan itu, jelasnya.
Demi memperoleh putusan yang tepat, pro dan kontra argumentasi hukum mengenai hukuman mati ini masih akan dilanjutkan pada persidangan berikutnya yang masih akan mendengarkan keterangan ahli lain yang diajukan oleh para pihak. Biarlah forum ini tidak menghasilkan menang kalah begitu saja, bukan by product, tapi prosesnya ini menjadi sesuatu yang penting untuk kita sampai kepada putusan yang tepat, di samping proses ini juga akan mempunyai fungsi pendidikan tersendiri, pendidikan hukum dan pendidikan HAM bagi kita semua, jelas Ketua Majelis Hakim Konstitusi Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. sebelum menutup persidangan. (Wiwik Budi Wasito)