Adanya permintaan persetujuan Presiden kepada DPR dalam hal pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI merupakan bentuk mekanisme checks and balances. Hal tersebut menjadi salah satu pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 22/PUU-XIII/2015 perihal pengujian Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia, Undang-Undang Pertahanan Negara dan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia yang diajukan Denny Indrayana (Pemohon I), Feri Amsari (Pemohon II), Hifdzil Alim (Pemohon III) dan Ade Irawan (Pemohon IV). Putusan itu diucapkan Mahkamah dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada Senin (7/12), di Ruang Sidang Pleno MK.
“Adanya permintaan persetujuan oleh Presiden kepada DPR dalam hal pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI sebagaimana diatur dalam UU 2/2002, UU 3/2002 dan UU 34/2004 bukanlah suatu penyimpangan dari sistem pemerintahan presidensial, hal tersebut justru menggambarkan telah berjalannya mekanisme checks and balances sebagaimana tersirat dalam UUD 1945,” ucap Hakim Konstitusi Aswanto membacakan pertimbangan Mahkamah.
Menurut Mahkamah, salah satu kewenangan konstitusional Presiden adalah mengangkat menteri-menteri Negara. Selain itu, Presiden juga memiliki hak prerogatif untuk mengangkat jabatan-jabatan lain yang sangat strategis yang memiliki implikasi besar terhadap pencapaian tujuan negara. “Bahwa hal lain yang juga harus dipertimbangkan dalam hal pengangkatan pejabat negara yang memiliki peranan strategis adalah bahwa harus juga dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh aspek akuntabilitas yang dapat dilakukan dengan cara meminta pertimbangan dan/atau persetujuan dari DPR,” kata Aswanto.
Mahkamah berpendapat, proses pemilihan pejabat publik bertujuan untuk melindungi hak dan kepentingan publik yang dapat dicapai melalui suatu prosedur pemilihan yang transparan, akuntabel, dan partisipatif. Adanya permintaan persetujuan kepada DPR juga merupakan upaya untuk menciptakan dan menghasilkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). “Sehingga dapat terpilih sosok pejabat yang betul-betul memiliki integritas, kapabilitas, dan leadership, serta akseptabilitas dalam rangka membantu Presiden untuk menjalankan Pemerintahan,” imbuh Aswanto.
Berdasarkan pertimbangan itu, Mahkamah menilai adanya persetujuan dari DPR dalam hal pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI oleh Presiden tidak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga dalil permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum. “Amar putusan, mengadili, menyatakan, permohonan Pemohon I, Pemohon II dan Pemohon III tidak dapat diterima. Menolak permohonan Pemohon IV untuk seluruhnya,” ucap Wakil Ketua MK Anwar Usman selaku pimpinan sidang.
Dalam putusan tersebut, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna memiliki alasan berbeda (concurring opinion). Menurut Palguna, secara doktrinal, hak atau kewenangan prerogatif adalah hak atau kewenangan diskresi yang lahir dari tuntutan kepentingan dan kebaikan publik sehingga legitimasinya pun dinilai berdasarkan kepentingan dan kebaikan publik. Secara historis, lanjut Palguna, hak atau kewenangan prerogatif berasal dari kewenangan atau kekuasaan absolut yang dimiliki oleh Mahkota (raja/ratu) dalam bentuk pemerintahan monarki, khususnya di Inggris, namun seiring berjalannya waktu makin lama makin berkurang isi maupun ruang lingkupnya ketika Inggris berubah menjadi monarki dengan sistem pemerintahan parlementer.
Selain itu, kata Palguna, hak atau kewenangan prerogatif tidak pernah disebutkan secara eksplisit dalam Konstitusi sebagai ciri yang melekat dalam sistem pemerintahan presidensial. Menurutnya, meskipun dalam praktik hal itu diakui dan diterima, namun dasar penerimaannya adalah semata-mata kepentingan dan kemanfaatan publik dan legitimasinya diperoleh secara politis.
Sementara terkait makna ‘memperkuat sistem pemerintahan presidensial’ yang merupakan salah satu kesepakatan penting fraksi-fraksi di MPR, Palguna berpandangan bahwa hal itu bukan menekankan pada gagasan memperkuat hak prerogatif Presiden. “Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, permohonan para Pemohon yang mendalilkan campur tangan DPR dalam pengangkatan dan pemberhentian Panglima TNI dan Kapolri bertentangan dengan UUD 1945, dengan argumentasi bahwa hal itu tidak sesuai dengan hakikat hak prerogatif Presiden dalam sistem presidensial, harus dinyatakan ditolak,” tegas Palguna.
Sebelumnya Pemohon mendalilkan, sistem pemerintahan yang dianut Negara Indonesia adalah sistem pemerintahan presidensial. Dengan dianutnya sistem presidensial, maka Presiden diberikan hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan personil pemerintahannya, tanpa harus meminta persetujuan DPR. Untuk itu, Pemohon menganggap keterlibatan DPR dalam hal pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dan Panglima TNI bertentangan dengan UUD 1945. (Triya IR)