Warga Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat dihadapkan pilihan sulit dalam pemilu kepala daerah karena hanya disodorkan calon tunggal. Mereka hanya diberi pilihan setuju atau tidak setuju atas sang calon.
Nada suaranya terdengar meninggi. Bayangan kerutan di keningnya terlihat jelas. Dengan setengah lantang dia lantas berkata: "Kami akan deklarasikan gerakan 'tidak setuju'!"
H. Ruhimat adalah politisi sekaligus Ketua PPP Kabupaten Tasikmalaya dan Ketua DPRD wilayah itu. Malam itu, di kediamannya di pinggiran kota Tasikmalaya, tengah digelar rapat.
Di halaman depan rumahnya, awal Desember lalu, terlihat sejumlah pemuda dengan berpakaian dan berkopiah putih --terlihat berjaga-jaga. "Kami minta masyarakat untuk tetap datang ke TPS dan mencoblos kolom 'tidak setuju'."
Dua hari kemudian, tepatnya Rabu, 3 Desember, deklarasi kelompok "tidak setuju" digelar di depan kantor bupati setempat. Para pengusungnya --yang dimotori H. Ruhimat-- menyebut dirinya kelompok Romantis alias rombongan masyarakat tidak setuju.
"Kami yakin kelompok tidak setuju menang hingga 75 persen," H. Ruhimat mengklaim. "Karena, figur yang diusung (sebagai calon tunggal pilkada Kabupaten Tasikmalaya) tidak menunjukkan kepemimpinan yang layak diteladani."
Memang, semenjak Mahkamah Konstitusi, MK, membolehkan kehadiran calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah serentak pada Rabu, 9 Desember nanti, sebagian warga Kabupaten Tasikmalaya "akrab" dengan kata 'setuju' dan 'tidak setuju'.
Satu-satunya calon tunggal bupati di wilayah itu adalah Uu Ruzhanul Ulum dan pasangannya H Ade Sugianto. Mereka adalah Bupati dan wakil bupati Kabupaten Tasikmalaya saat ini alias petahana atau incumbent.
Tim sukses Uu Ruzhanul meyakini mayoritas masyarakat Kabupaten Tasikmalaya akan menyoblos kolom 'setuju'.
"Karena calon kita adalah incumbent. Dalam periode pertama (kepemimpinan) beliau sudah berbuat untuk kepentingan masyarakat, dan mereka sudah merasakannya," klaim Basuki Rahmat, wakil ketua bidang strategi dan kampanye tim sukses Uu.
Keputusan MK sangat 'menohok'
Ketika saya datangi pada awal Desember lalu, kantor Komisi pemilihan umum, KPU Kabupaten Tasikmalaya, yang terletak di ibukotanya, yaitu Singaparna, terlihat "berantakan".
Maklum saja, mereka baru saja menggelar semacam sosialisasi --yang terus digelar terus-menerus-- menjelang pilkada serentak. Diwarnai kesibukan anak buahnya, salah-seorang pimpinannya menemui saya di ruangan lantai dua.
"Ini lumayan berat, karena masyarakat biasanya mencoblos gambar,"ungkap Dadan Bardan, anggota KPU Kabupaten Tasikmalaya divisi teknis pemilu dan hubungan partisipasi masyarakat. Dia didampingi Zamzam Zamaludin, anggota KPU divisi hukum dan pengawasan.
Sesuai keputusan MK dan kemudian ditindaklanjuti KPU pusat, lanjutnya, masyarakat diberi dua pilihan "setuju" atau "tidak setuju" terhadap calon tunggal Uu Ruzhanul Ulum dan pasangannya.
"Di awal-awal ada kelompok yang menolak pilkada calon tunggal," ungkap Dadan. Namun belakangan mereka luruh dan "bergeser" akan memberikan suara dengan mencoblos kolom "tidak setuju".
"Ini demokrasi yang sehat, walaupun pilihannya tidak setuju semata. Ada kemajuanlah," katanya.
Tetapi apakah ada jaminan warga Kabupaten Tasikmalaya akan berbondong-bondong ke bilik suara pekan depan? Tanya saya.
Hasil survei KPU Pusat di Kabupaten Tasikmalaya, ungkapnya, mayoritas warga akan menyalurkan suaranya.
"Kita optimis mereka hadir di TPS, tetapi bahwa ada yang pesimis itu wajar, karena tingkat partisipasi tidak begitu membanggakan, apalagi di (Kabupaten) Tasikmalaya," jawab Dadan.
Pro-kontra putusan MK
Diputuskan pada 29 September 2015 lalu, Mahkamah Konstitusi "menghalalkan" calon tunggal di Pilkada serentak pada 9 Desember nanti.
Keputusan ini lahir setelah Effendi Gazali dan Yayan Sakti Suryandu, secara terpisah, mengajukan uji materi terhadap sejumlah pasal dalam UU tentang Pilkada 2015.
Sebelumnya, sesuai isi undang-undang itu, KPU pusat menyatakan pilkada di Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Blitar dan Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT, ditunda pada 2017 karena hanya memiliki calon tunggal.
Intinya, Effendi dan Yayan menganggap pelarangan calon tunggal dalam pilkada itu "mengebiri" kedaulatan rakyat memilih calon pemimpin di daerahnya.
Dalam putusannya, MK kemudian menyatakan daerah --yang memiliki pasangan calon tunggal-- dapat tetap melaksanakan pilkada. Pemilik hak suara, menurut MK, dapat menyetujui atau tidak menyetujui calon pemimpinnya.
"Mekanisme ini lebih demokratis daripada menyatakan menang calon tunggal bersangkutan," demikian antara lain isi amar putusan MK.
Artinya, mereka menolak permohonan pemohon bahwa solusi calon tunggal ini bisa dengan pilkada yang mengkontestasi calon tunggal dengan kotak kosong dalam kertas suara --lazim disebut bumbung kosong.
Putusan MK ini kontan saja melahirkan polemik di masyarakat. Di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, saya menemui pengamat politik Asep M Tamam yang juga staf pengajar di Universitas Islam Negeri Bandung dan IAIC Cipasung.
"MK terlalu cepat mengambil keputusan, tidak komprehensif dalam melihat suara hati masyarakat di bawah," kata Asep.
Karakteristik daerah berbeda
Sebelum memutuskan, imbuhnya, MK seharusnya mendalami terlebih dulu apakah calon pemimpin di daerah itu dicintai masyarakatnya atau tidak. MK juga diminta memahami konstelasi politik setiap wilayah yang berbeda.
"Itu seharusnya menjadi pertimbangan keputusan MK," katanya seraya menambahkan, calon tunggal di pilkada Kabupaten Tasikmalaya kurang disukai mayoritas warganya.
"Berbeda dengan Surabaya, di mana masyarakat suka dengan Ibu Risma (Wali kota Tri Rismaharini) sehingga calonnnya tunggal, karena calon lainnya harus kalah, karena prestasi luar biasa ibu Risma," ujar Asep, menganalisa.
Asep M Tamam cenderung setuju apabila pilkada di Kabupaten Tasikmalaya digelar pada 2017 nanti. "Alasannya, start semua calon sama," tandasnya.
Menurutnya, dengan putusan MK tersebut, calon tunggal Uu Ruzhanul Ulum "diuntungkan". "Hampir semua aturan (KPU) itu lebih memberikan peluang calon tunggal untuk menang," kata Asep.
Komentar kubu Uu Ruzhanul Ulum
Sikap serupa juga pernah ditunjukkan H. Ruhimat, politisi sekaligus Ketua PPP Kabupaten Tasikmalaya. "Sebelum ada putusan MK, partai kami ingin pilkada digelar pada 2017," katanya.
Apa tanggapan kubu Uu Ruzhanul Ulum yang didukung PDI-P, PAN dan PKS? Basuki Rahmat, wakil ketua bidang strategi dan kampanye tim sukses Uu, mengakui pihaknya diuntungkan dengan putusan MK
"Barangkali (karena) memang calonnya tunggal, sehingga tidak ada kompetitor. Sisi manajemen kita lebih leluasa," kata Basuki saat ditemui di Tasikmalaya.
Namun demikian, tambahnya, tidak ada perbedaan dalam masalah kampanye. "Sama saja, tidak ada perbedaan dengan pilkada dengan banyak calon," tambah anggota DPRD Kabupaten Tasikmalaya ini.
Ditanya apakah pihaknya lebih diuntungkan sebagai incumbent (petahana) dalam pilkada calon tunggal, Basuki mengatakan, kenyataan seperti itu di luar kontrolnya karena keputusan ada di MK dan KPU pusat.
"Kita juga nggak bisa ngapain-ngapain," kata Basuki, seraya tertawa, menanggapi aturan-aturan yang dibuat KPU menyusul putusan MK yang dianggap menguntungkan calon inkamben.
Apa komentar warga Singaparna?
Menjelang meninggalkan Kota Singaparna, saya mendatangi alun-alun kota yang berdekatan dengan masjid besar kota itu, Rabu, 2 Desember lalu.
Pada pagi itu, sejumlah pedagang kaki lima mulai menjajakan dagangannya di trotoar di depan bangunan ibadah tersebut. Dahulu, mereka berjualan di dalam alun-alun, tetapi kemudian dipaksa pindah.
"Saya bingung, saya enggak punya pilihan," kata Komar, pria asli Singaparna, dan mengaku menjalankan usaha kaki lima. "Karena calonnya cuma satu dan saya sudah tahu kualitasnya."
Dia kemudian mengusulkan agar pilkada di wilayahnya tidak perlu digelar. "Abis-abisin duit."
Tapi ketika saya tanggapi usulannya itu tidak realistis, Komar mengiyakan. "Ya, udah, saya condong untuk 'tidak setuju' saat pemilihan nanti."
Pagi itu saya juga bertemu Etik, yang menurut teman-temannya adalah anggota panitia pemilihan. "Mudah-mudahan banyak warga datang ke TPS. Ini tanggung jawab saya," ujarnya pelan.
Perempuan berkerudung ini mengaku sebagian warga tidak memahami bagaimana menggunakan suaranya, akibat ada perubahan format di kertas suara. "Utamanya orang-orang tua," kata Etik agak terkekeh.
Anda sendiri akan memilih 'setuju' atau 'tidak setuju' terhadap calon tunggal? Tanya saya. "Saya bingung juga."
Tidak jauh dari tempat Etik dan Komar berdiri berdiri sebuah spanduk "kampanye" calon tunggal Uu Ruzhanul. Dan kira-kira tujuh meter dari spanduk itu, saya menemui seorang pria berkopiah hitam. Haji Mumu, begitu dia memperkenalkan diri.
"Kita tidak ada pilihan lain. Masyarakat bingung semua. Kita tidak bisa menentukan mana yang baik, mana yang lebih baik," katanya.
Namun demikian, dia mengaku akan mendukung 'setuju' dalam kertas suaranya. "Daripada tidak punya pimpinan, daripada daerah ini tidak terurus, lebih baik yang ada saja."
Patut diketahui, apabila suara yang "tidak menyetujui" mampu mengungguli suara "yang setuju", maka pemerintah pusat akan menunjuk pejabat dari wilayah itu sebagai pejabat sementara bupati --hingga pilkada berikutnya.
Di akhir wawancara, dia meminta agar para pimpinan di Kabupaten Tasikmalaya dapat memetik pengalaman mengapa mereka tidak mampu melahirkan calon-calon pemimpin.
"Mereka seharusnya bisa belajar dari apa yang terjadi tahun ini. Masyarakat itu tergantung bagaimana pemimpinnya," katanya.