JAKARTA – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat berasal dari institusi atau jabatan profesional mana pun karena sifat kekhususan lembaga tersebut. DPR memastikan hal tersebut dalam sidang uji materi Pasal 45 Undang-Undang Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang dipersoalkan OC Kaligis, terdakwa penyuapan hakim PTUN Medan, di Mahkamah Konstitusi (MK), Kemarin, Rabu (2/12).
Di hadapan hakim MK, John Kenedy Aziz mewakili Komisi III DPR, menjelaskan ketentuan Pasal 45 UU KPK yang menyebutkan, penyidik pada KPK diangkat dan diberhentikan oleh KPK juga harus dihubungkan dengan Pasal 21.
“Ketentuan ini tidak berdiri sendiri. Kita harus memahami Pasal 21 Ayat (1) UU KPK yang mengatur komposisi KPK terdiri atas pemimpin, tim penasihat, dan pegawai KPK. Pasal 21 Ayat (4) UU KPK menegaskan pemimpin KPK adalah penyidik dan penuntut umum,” tuturnya saat memberikan keterangan di gedung MK, Rabu.
Ia menyebutkan, Pasal 21 menentukan seluruh pemimpin KPK dapat berasal dari mana pun, asal institusinya dapat menjadi penyidik dan penuntut umum dalam perkara-perkara korupsi yang ditangani oleh KPK. “Artinya, penyidik KPK dapat berasal dari institusi atau jabatan profesional apa pun karena sifat kekhususan kembaganya,” ujarnya.
Terkait permohonan Kaligis atas asumsinya yang menyatakan penyidik KPK bernama Ambarita Damanik, Riska Anungnata, dan Yudi Kristiana, adalah penyidik tidak sah, John mengatakan secara hukum bukan merupakan muatan materi dari Pasal 45 UU KPK.
“Seharusnya pemohon dapat mengajukan permohonan ke praperadilan untuk mendapatkan keadilan. Pasal 45 Ayat (1) UU KPK merupakan lex spesialis dari KUHAP dalam penanganan tindak pidana korupsi, sesuai ketentuan dalam Pasal 39 Ayat (1) UU KPK,” katanya.
Ketentuan Pasal 45 Ayat (1) UU KPK menyatakan, lembaga antikorupsi itu dapat mengangkat dan memberhentikan penyidik tanpa memerlukan prasyarat harus berasal dari institusi kepolisian atau kejaksaan. John melanjutkan, penyidik KPK adalah penyidik khusus karena sifat extraordinary kelembagaannya. Seluruh instrumen yang dimiliki KPK diatur dengan mengabaikan ketentuan umum yang berlaku dalam hukum acara peradilan umum.
“Karena kekhususan itu, penyidik yang berasal dari institusi kepolisian dan atau kejaksaan harus diberhentikan terlebih dahulu dari ikatan institusi lamanya,” ujar John.
Efektif
John mengatakan, hadirnya lembaga KPK adalah sebagai lembaga independen yang dituntut untuk bekerja secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. Ia menyebutkan, KPK diharapkan dapat menangani perkara tindak pidana korupsi secara efektif. Itu karena lembaga yang ada saat itu (kepolisian dan kejaksaan) terkesan tidak efektif menangani perkara tindak pidana korupsi.
“Alur (tafsir) futuristiknya, KPK harus bersifat independen. Itu termasuk dalam perekrutan penyelidik dan penyidik KPK, sebenarnya tidak boleh dari unsur kepolisian. Belum lagi, gugurnya independensi KPK kala akan melakukan penyidikan dugaan perkara korupsi di institusi kepolisian, jika penyidiknya dari kepolisian,” tutur John.
Meski begitu, salah satu kuasa hukum pemohon, Muhammad Rullyandi, menegaskan pihaknya tetap pada pendirian semula bahwa penyidik harus dari kepolisian. “Harus kepolisian karena pada dasarnya KPK itu dibentuk untuk membantu lembaga kepolisian, jadi itu sangat fundamental,” serunya.
Ruliyandi mengatakan, penyidik independen di KPK sebenarnya merupakan hasil penafsiran yang bersifat subjektif dari KPK. Artinya, ada upaya memperluas kewenangannya sendiri.
“Padahal, lembaga itu didirikan karena membantu tugas kepolisian, makanya penyidiknya harus polisi. Itu juga dikatakan dalam Pasal 39 UU KPK, yang menjelaskan penyidik diberhentikan sementara dari kepolisian,” tuturnya.
Sumber: http://www.sinarharapan.co/news/read/151203073/dpr-bela-kpk-di-mk