Meninggalnya salah satu dari pasangan calon semestinya tidak menjadikan pasangan calon yang masih hidup terhalang haknya untuk dipilih dalam pemilihan kepala daerah. Apalagi hingga menyebabkan pasangan calon tersebut dinyatakan gugur untuk berkompetisi dalam ajang pemilihan kepala daerah. Semestinya, yang kehilangan hak untuk dipilih hanyalah calon yang meninggal, sedangkan calon yang masih hidup dapat tetap dipilih. Hal tersebut merupakan pokok permohonan Calon Bupati Lampung Timur pada Pilkada Serentak 2015, Erwin Arifin yang menguji Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
Erwin Arifin mempermasalahkan ketentuan dalam Pasal 54 ayat (5) UU Pilkada karena pencalonannya digugurkan setelah pasangannya Priyo Budi Utomo meninggal dunia. Pasal 54 ayat (5) UU Pilkada menyatakan, “Dalam hal pasangan calon berhalangan tetap pada saat dimulainya kampanye sampai hari pemungutan suara dan terdapat 2 (dua) pasangan calon atau lebih, tahapan pelaksanaan Pemilihan dilanjutkan dan pasangan calon yang berhalangan tetap tidak dapat diganti serta dinyatakan gugur.”
Saat pasangannya meninggal pada masa kampanye, Pemohon dinyatakan gugur melalui Surat Keputusan KPU Kabupaten Lampung Timur. Menurut Pemohon, penggugurannya sebagai calon kepala daerah telah melanggar haknya untuk dipilih dan memilih. Selain itu, aturan tersebut juga dianggap diskriminatif. Sebab, jika dikaitkan dengan Pasal 54 ayat (1) UU Pilkada, maka pasangan calon kepala daerah yang salah satunya berhalangan tetap pada masa sebelum kampanye masih diberikan waktu untuk mencari pengganti. Artinya, bila saja pasangan Pemohon meninggal sebelum masa kampanye, maka Pemohon dapat mencari pengganti.
“Sejak masa kampanye sampai hari pungutan suara (calon) dinyatakan gugur tidak dapat diganti, sementara tahapan-tahapan lainnya masih bisa diganti,” ujar Tanda Pardamaian Nasution selaku kuasa hukum Pemohon pada sidang pemeriksaan pendahuluan.
Dalam sidang pemeriksaan perbaikan permohonan yang digelar Mahkamah Konstitusi pada Kamis (3/12), Pemohon melalui kuasa hukumnya menegaskan, meninggalnya salah satu dari pasangan calon merupakan takdir yang tidak dapat dikendalikan. Lain halnya apabila maksud berhalangan tetap adalah apabila calon melakukan tindak pidana dan dicabut hak politiknya.
“Meninggal dunia adalah takdir, tapi pengguguran atas nama undang-undang terhadap calon yang masih hidup bukanlah takdir. Karena menurut pemohon yang seharusnya dianggap sebagai takdir adalah mengenai kematian salah satu pasangan calon. Sementara pasangan calon yang masih hidup, yang tidak dapat mengikuti Pilkada bukanlah takdir, melainkan hukum dari pemberlakuan undang-undang,” imbuh Ridwan Darmawan selaku kuasa hukum Pemohon di hadapan Majelis Hakim Panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.
Pada sidang perbaikan permohonan tersebut, Pemohon juga menegaskan bahwa haknya untuk memilih dan dipilih dilindungi oleh Konstitusi. Selain itu menurut Pemohon, Mahkamah lewat berbagai putusannya, termasuk putusan perkara No. 100PUU-XIII2015 telah menyatakan bahwa hak untuk memilih dan dipilih merupakan hak konstitusional warga negara yang harus dilindungi.
“Saat itu MK menyatakan bahwa hak dipilih dan memilih adalah hak konstitusional dan asasi manusia yang harus dilindungi. Sehingga bila ada aturan-aturan teknis prosedural yang menghambat pemenuhan hak konstitusional tersebut, maka MK harus mengesampingkannya untuk dapat melindungi hak konstitusional warga negara,” urai Ridwan di Ruang Sidang MK.
Oleh karena itu, Pemohon kembali meminta kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 54 ayat (5) UU Pilkada bertentangan dengan Konstitusi sepanjang tidak dimaknai “Dalam hal pasangan calon berhalangan tetap pada saat dimulainya kampanye sampai hari pemungutan suara dan terdapat dua pasangan calon atau lebih, tahapan pelaksanaan pemilihan dilanjutkan dan pasangan calon yang berhalangan tetap dapat diganti dengan diberikan waktu yang wajar dan patut.” Dengan kata lain, Pemohon meminta pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat. (Yusti Nurul Agustin/IR)