Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menolak untuk seluruhnya permohonan uji Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) yang diajukan oleh sembilan orang buruh, Abda Khair Mufti, Muhammad Hafidz, dkk. Hal tersebut dinyatakan oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman dalam sidang Pleno yang digelar terbuka untuk umum pada Senin (30/11), di Ruang Sidang Pleno MK.
“Amar putusan, mengadili, menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Anwar dengan didampingi Hakim Konstitusi lainnya.
Dalam permohonannya, para Pemohon mempermasalahkan Pasal 81 UU PPHI yang menyatakan, “Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja.” Terhadap ketentuan tersebut, para Pemohon mendalilkan bahwa seharusnya dalam penyelesaian pemutusan hubungan kerja (PHK) dilakukan melalui permohonan, bukan dengan gugatan.
Didalilkan, ketika penyelesaian PHK dilakukan dengan gugatan, maka pekerja yang pendidikan hukumnya tidak cukup acapkali tidak mendapatkan kepastian kelanjutan hubungan kerja maupun akibat hukum yang timbul dari putusnya hubungan kerja. Namun ketika, penyelesaian PHK dilakukan melalui permohonan, maka mekanismenya akan lebih sederhana karena tidak perlu menerapkan seluruh asas persidangan. Untuk itu, para Pemohon menilai Pasal 81 UU PPHI bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Terhadap dalil para Pemohon tersebut, menurut Mahkmah Pengadilan Hubungan Industrial adalah salah satu cara atau mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang khusus dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial (kompetensi absolut). Sedangkan Pasal 81 UU PPHI adalah norma yang mengatur tentang “pengadilan hubungan industrial mana” yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus gugatan perselisihan hubungan industrial (kompetensi relatif). “Artinya, norma yang mengatur tentang kompetensi relatif Pengadilan Hubungan Industrial inilah yang oleh para Pemohon didalilkan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” ujar Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna.
Namun, lanjut Mahkamah, ternyata argumentasi para Pemohon justru menguraikan alasan-alasan yang sama sekali tidak bersangkut-paut dengan kompetensi relatif Pengadilan Hubungan Industrial. Hal yang disoroti oleh para Pemohon malah sifat penyelesaian perselisihan PHK yang menurut para Pemohon seharusnya bukan dilakukan melalui mekanisme gugatan, melainkan permohonan. “Dengan demikian, tidak terdapat korelasi sekaligus koherensi antara dalil permohonan dan argumentasi yang digunakan untuk mendukung dalil tersebut,” imbuh Palguna.
Mahkamah menegaskan, Pasal 81 UU PPHI justru menguntungkan atau meringankan para Pemohon. Sebab, para Pemohon yang hendak mengajukan gugatan perselisihan hubungan industrial tidak perlu mengajukan ke pengadilan di tempat tergugat berdomisili.
Selain itu menurut Mahkamah, perkara pemutusan hubungan kerja tidak mungkin dikonstruksikan sebagai permohonan. Sebab, dalam perkara pemutusan hubungan kerja jelas terkandung adanya unsur sengketa (disputes) antara para pihak, setidak-tidaknya di antara dua pihak. Untuk itu, permasalahan hukumnya hanya dapat diselesaikan dengan memberi hak dan kesempatan kepada para pihak untuk membantah dalil-dalil penggugat dan tergugat, sehingga mekanisme demikian tidak mungkin dapat dilaksanakan dalam persidangan perkara permohonan. (Triya IR).