Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang Pengujian UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-Undang No.1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) pada Senin (30/11). Sidang kedua yang digelar di Ruang Sidang MK ini mengagendakan pemeriksaan Perbaikan Permohonan Pemohon.
Dalam perbaikan permohonan, Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya Fadli mengungkapkan telah melakukan perbaikan, diantaranya mengenai alasan permohonan. Menurut Pemohon, Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Pilkada membatasi hak pilih warga Negara dengan gangguang jiwa, padahal penyakit gangguan jiwa bukanlah penyakit yang berlangsung terus-menerus. “Penyakit ini bisa disembuhkan dengan diberikan obat,” ujarnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Permohonan ini teregistrasi dengan nomor perkara 135/PUU-XIII/2015 diajukan oleh Perhimpunan Jiwa Sehat, diwakili oleh Jenny Rosanna Damayanti (Pemohon I), Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA PENCA), diwakili oleh Dra. Hj. Ariani (Pemohon II), Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) diwakili oleh Titi Anggraini (Pemohon III) serta Khorunnisa Nur Agustyati (Pemohon IV). Dalam pokok permohonannya, para Pemohon mendalilkan terlanggar hak konstitusionalnya akibat berlakunya Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Pilkada yang berbunyi “(3) Untuk dapat didaftar sebagai Pemilih, warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat: a. tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya”.
Para Pemohon menilai, aturan yang diuji tersebut bersifat diskriminatif bagi warga negara yang mengidap psikososial atau disabilitas gangguan mental. Ketentuan tersebut juga dianggap telah menghilangkan hak memilih seorang warga negara untuk dapat berpartisipasi di dalam memilih calon kepala daerahnya. Selain itu, juga menimbulkan ketidakpastian hukum dalam proses pelaksanaan pemilihan kepala daerah, khususnya pada tahapan pemutakhiran dan pendaftaran pemilih.
Lebih lanjut, para Pemohon menjelaskan bahwa gangguan psikososial atau disabilitas gangguan mental, bukanlah jenis penyakit yang muncul terus menerus dan setiap saat. Bagi mereka yang mengidap psikososial, dapat terjadi gejala gangguan mental pada dirinya muncul, dan dapat juga gejala tersebut hilang sehingga yang bersangkutan dapat menjadi normal kembali. Tidak ada yag dapat memastikan kapan seorang pengidap psikososial kambuh gejalanya, dan kapan pula gejala psikososial yang ada pada diri yang bersangkutan hilang.
Oleh karena itu, para Pemohon menilai syarat yang tercantum dalam ketentuan Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Pilkada menjadi tidak relevan. Karena bisa saja ketika jangka waktu penetapan daftar pemilih telah selesai pengidap psikososial atau disabilitas gangguan mental sudah sehat kembali. Sedangkan akibat dari ketentuan Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Pilkada, maka sebagai warga negara dia telah kehilangan hak untuk didaftar menjadi pemilih. Dengan mengajukan permohonan uji materi ini, Pemohon berharap agar Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Pilkada dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (Lulu Anjarsari/IR)