Pemeriksaan Komisoner Komisi Yudisial (KY) tidak membutuhkan izin Presiden. Hal ini bertujuan untuk meniadakan intervensi penguasa terhadap penanganan perkara pidana yang dilakukan penegak hukum. Pandangan tersebut disampaikan oleh Direktur Litigasi Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham, Nasrudin mewakili Pemerintah dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY) dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) yang dimohonkan Komisioner KY Taufiqurrohman Syahuri.
“Karena prosedur persetujuan secara tidak langsung dapat dijadikan alat intervensi penguasa terhadap penanganan perkara pidana yang dilakukan oleh penegak hukum. Intervensi itu bisa dilakukan dengan cara menunda atau tidak mengeluarkan persetujuan bila yang tersangkut korupsi berasal dari kelompoknya dan mempercepat keluarnya persetujuan pemeriksaan bila berasal dari lawan politiknya.” jelasnya.
Selain itu, menurut Nasrudin, guna memenuhi asas peradilan cepat sederhana dan biaya ringan, maka pembuat undang-undang menilai izin Presiden tidak diperlukan dalam pemeriksaan Komisioner KY dan Hakim Agung. Sebab, faktanya izin Presiden dapat memakan waktu yang cukup lama sehingga dikhawatirkan proses ini akan mengganggu jalannya pemeriksaan. Nasrudin menambahkan, perbedaan perlakuan ini tidak serta merta menimbulkan diskriminasi, karena proses pemeriksaan terhadap Komisioner KY juga telah menganut prinsip persamaan di hadapan hukum.
“Tidak semua pejabat negara harus diperlakukan sedemikian rupa karena berdasarkan asas persamaan di depan hukum, dalam prosedur persetujuan terkandung perlindungan hukum bagi pejabat negara yang tidak dimiliki oleh warga negara biasa. Selain itu terhadap sesama pejabat juga ada perlakuan yang berbeda, karena ada pejabat negara harus ada persetujuan dan ada yang tidak diharuskan adanya persetujuan terlebih dahulu oleh Presiden, seperti Presiden, Wakil Presiden dan para Menteri,” jelas Nasrudin yang kemudian mengatakan bahwa Pemerintah pada prinsipnya menyakini ketentuan Pasal 10 ayat 1 UU KY dan Pasal 17 ayat 1 UU MA sesungguhnya ditujukan dalam rangka melindungi martabat pejabat negara agar diperlakukan hati-hati, cermat, dan tidak semena-mena.
Sebelumnya, Pemohon menguji Pasal 10 ayat (1) UU KY dan Pasal 17 ayat (1) UU MA.
Pasal 10 ayat (1) UU KY menyatakan,
Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Yudisial dapat ditangkap atau ditahan hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Presiden, kecuali dalam hal:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; atau
b. berdasarkan bukti permulaan yang cukup disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.
Pasal 17 ayat (1) UU MA menyatakan,
Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung dapat ditangkap atau ditahan hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Presiden, kecuali dalam hal:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan, atau;
b. berdasarkan bukti permulaan yang cukup, disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.
Menurut kuasa hukum Pemohon Andi Muhammad Asrun, Pasal yang diujikan telah menciderai hak konstitusional Pemohon. Asrun menjelaskan, Pasal 10 ayat (1) UU KY dan Pasal 17 ayat (1) UU MA telah membuat repot Hakim Agung maupun Komisioner KY. Sebab, jika terdapat masalah hukum terhadap Hakim Agung atau Komisoner KY, maka Kepolisian memanggil pihak yang bersangkutan untuk diperiksa. Menurut Asrun, hal tersebut telah dialami Pemohon dan dianggap sebagai hal yang merepotkan. “Persoalannya bahwa panggil memanggil ini kadang-kadang membuat repot Hakim Agung atau pun Komisi Yudisial. Jadi ada tugas yang ditinggalkan padahal tugas yang penting. Kadang-kadang satu perkara yang katakanlah perkara kecil pun, apabila sudah ada laporan polisi, maka itu harus ditindaklanjuti,” jelas Asrun, pada sidang perdana Selasa (27/10).
Dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 10 ayat (1) UU KY bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepajang tidak dimaknai “Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Yudisial dapat dipanggil, dimintai keterangan, penyidikan, ditangkap atau ditahan hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Presiden.” Demikian juga dengan Pasal 17 ayat (1) UU MA, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung dapat dipanggil, dimintai keterangan, penyidikan, ditangkap atau ditahan hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapatkan persetujuan Presiden.” (Julie/IR)