Sebanyak 41 orang mahasiswa yang tergabung dalam Asian Law Students Association (ALSA) Local Chapter Fakultas Hukum Universitas Jember (FH UNEJ) mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (25/11) siang. Kunjungan para mahasiswa yang bertujuan untuk mengetahui lebih dekat mengenai tugas dan wewenang MK tersebut diterima langsung oleh Peneliti MK, Nallom Kurniawan.
“Pembentukan MK ini sebenarnya memiliki tujuan seperti apa? Kita ingin lebih lanjut lagi tugas dan wewenang MK apabila diberikan secara langsung oleh orang MK. Ini juga pembelajaran bagi teman-teman yang tergabung dalam ALSA,” kata Hadian, selaku pimpinan rombongan saat menjelaskan tujuan kedatangannya.
Nallom kemudian memulai penjelasannya dengan sejarah pembentukan MK di dunia. Menurut Nallom, ide perlunya Peradilan Konstitusi dicetuskan pakar hukum tata negara Hans Kelsen, pada 1919. Gagasan ini dilontarkan karena harus ada yang mengawal Undang-Undang Dasar (UUD). Hingga pada 1920 dibentuklah MK pertama di dunia, yakni di Austria.
“Kalau teman-teman membaca literatur hukum tata negara, pembentukan Mahkamah Konstitusi dilatarbelakangi Kasus Marbury vs Madison di Amerika Serikat,” kata Nallom kepada para mahasiswa.
Kasus Marbury vs Madison berlangsung saat terjadi transisi pemerintahan dari John Adams ke Thomas Jefferson pada 1800. Jelang lengser dari Presiden, John Adams mengangkat orang-orang dekat menjadi pejabat, termasuk menjadi hakim. Setelah ditandatangani, SK pengangkatan itu tidak sempat disampaikan kepada para pejabat yang bersangkutan karena John Adams keburu lengser. Paginya, Thomas Jefferson sudah menjadi Presiden baru Amerika Serikat.
Dalam perkembangannya, Thomas Jefferson menolak memberikan salinan SK pengangkatan itu kepada para pejabat yang bersangkutan. Salah seorang pejabat yang protes adalah William Marbury karena merasa SK pengangkatan dirinya sebagai pejabat sudah disetujui Senat. Marbury mengadu ke Mahkamah Agung Amerika Serikat, meminta untuk memerintahkan Presiden untuk mengeluarkan satu tindakan. Meskipun Putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat akhirnya menolak gugatan Marbury, namun dari kasus itulah judicial review muncul.
Pada pertemuan itu Nallom juga menuturkan sejarah singkat pengujian Undang-Undang di Indonesia sejak masa kemerdekaan. Moh. Yamin dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) mengusulkan Balai Agung perlu diberi wewenang untuk membanding Undang-Undang. Namun Soepomo tidak setuju karena Undang-Undang Dasar (UUD) yang disusun tidak menganut sistem trias politica. Bertahun-tahun kemudian, pasca reformasi, terjadi amandemen UUD 1945. Soal pengujian UU kembali diusulkan, hingga dibentuknya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada 13 Agustus 2003.
MK Indonesia memilliki kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, serta wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. “Kehadiran MK sebagai koreksi dalam praktik ketatanegaraan kita di masa lalu,” imbuh Nallom. (Nano Tresna Arfana/IR)