Mahkamah Konstitusi menggelar sidang perbaikan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam sidang perbaikan tersebut, pemohon yang terdiri dari sejumlah aktivis, memperbaiki legal standing, pokok permohonan dan melengkapi surat kuasa Pemohon.
Diwakili Kuasa Hukum Ihsan Zikri, Pemohon menyatakan telah melengkapi tanda tangan untuk surat kuasa. Selain itu, Pemohon memperjelas kedudukannya sebagai perorangan. "Mengenai adanya pelanggaran hak konstitusional, kerugian konstitusional, dan adanya causal verband juga sudah kami perbaiki,” ujar Ihsan dalam sidang perkara nomor 130/PUU-XIII/2015 di ruang sidang MK, Jakarta, Rabu (25/11).
Dalam pokok permohonannya, untuk pengujian Pasal 138 dan Pasal 14B KUHAP, Pemohon tetap mengharapkan adanya kondisi penyerahan berkas dari penyidik ke penuntut umum. Untuk masalah waktu, Pemohon tetap pada rekomendasi yakni penyerahan berkas hanya diberikan waktu satu kali. “Dengan pemikiran bahwa apabila penuntut umum sudah terlibat sejak awal dalam penyidikan, maka proses serah terima itu akan lebih efektif dan tidak serumit yang sebelumnya,” jelasnya pada sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Aswanto.
Terkait Pasal 139 KUHAP, terkait alasan rasionalisasi dari 20 hari penuntut umum harus menentukan apakah akan melimpahkan atau tidak, Pemohon berpatokan pada perja terkait SOP Pidana Umum. “Di situ memang sebenarnya sudah memberikan batasan terkait waktu kapan penuntut umum harus melimpahkan berkas perkara. Jadi, dengan beberapa pertimbangan kami tetap merekomendasikan untuk dibatasi dalam jangka waktu tertentu,” imbuhnya.
Sebelumnya, sejumlah aktivis, yakni Choky Risda Ramadhan, Usman Hamid, dkk menguji materi ketentuan prapenuntutan yang diatur dalam KUHAP. Pemohon mendalilkan rumusan Pasal 14 huruf h dan huruf i, Pasal 109 ayat (1), Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 139 KUHAP telah menimbulkan ketidakpastian hukum.
Para Pemohon mendalilkan, proses prapenuntutan yang diatur dalam Pasal 14 huruf b KUHAP, seolah-olah hanya dilakukan apabila ada kekurangan pada penyidikan. Pasal 14 huruf b KUHAP menyatakan, “mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4) dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik.”
Menurut para Pemohon, ketentuan tersebut menandakan bahwa prapenuntutan seolah-olah bukan sebagai bagian integral dari sistem peradilan pidana terpadu. Selain itu, ketentuan tersebut juga tidak memposisikan penuntut umum untuk dapat berperan secara aktif dari awal tahapan penyidikan, tapi hanya pada akhir penyidikan.
Para Pemohon juga menilai Pasal 109 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP memiliki dua permasalahan besar, yakni tidak ada penegasan bahwa pelaksanaan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) merupakan suatu kewajiban. Selain itu, juga tidak ada kejelasan kapan penyidik wajib memberi tahu penuntut umum saat telah melakukan penyidikan.
Ketidakjelasan prapenuntutan juga terkandung dalam norma Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP terkait frasa dalam waktu tujuh dari dan dalam waktu 14 hari. Menurut pemohon, frasa tersebut tidak memberikan pemaknaan tegas berapa kali mekanisme dalam Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP dapat dilakukan.
“Rumusan norma Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan situasi bolak-balik berkas di antara penyidik dan penuntut umum lebih dari satu kali tanpa batasan yang jelas. Praktik bolak-balik berkas tanpa batas waktu, pada akhirnya akan merenggut hak atas kepastian hukum warga negara yang bertentangan dengan Pasal 28D Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” imbuhnya. (Lulu Hanifah)