Mahkamah Konstitusi menggelar sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat tersebut digelar dengan agenda mendengarkan keterangan Pemerintah.
Mewakili Pemerintah, Direktur Litigasi Peraturan Perundang-Undangan, Kementerian Hukum dan HAM Nasrudin menuturkan permohonan pemohon yang teregistrasi nomor 123/PUU-XIII/2015 tersebut adalah constitutional complain, dan bukan constitutional review. Sehingga, terhadap permohonan tersebut, menurut Pemerintah, seyogianya tidak disampaikan ke MK untuk mengujinya.
Selain itu, Pemerintah menyatakan materi muatan yang diajukan untuk diuji materiil, khususnya mengenai kata segera dalam Pasal 50 KUHAP, pernah diuji di MK dengan Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015. “Oleh karena itu Pemerintah berpendapat, permohonan Pemohon saat ini dengan permohonan Pemohon terdahulu tidak berbeda. Sehingga terhadap Perkara 102/PUU-XIII/2015, berlaku mutatis mutandis atas permohonan ini,” jelasnya di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Rabu (25/11).
Terhadap substansi permohonan, Pemerintah menegaskan bahwa makna dari kata segera dalam Pasal 50 ayat (1) KUHAP dalam kaitannya pada penanganan tindak pidana adalah harus secepatnya melakukan pemeriksaan oleh penyidik. Sedangkan makna dalam Pasal 50 ayat (2), kata segera diartikan untuk menyegerakan dilakukannya pelimpahan proses perkara ke pengadilan.
Kata segera berdasarkan penjelasan kedua pasal tersebut, dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan adanya praktik penyelesaian penanganan perkara yang berlarut-larut atau terkatung-katung, yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum. Terkait petitum Pemohon yang menyatakan kata segera pada Pasal 50 ayat (1) KUHAP perlu dimaknai dengan kalimat tidak lebih dari 60 hari apabila tersangka ditahan atau atau 90 hari apabila tersangka tidak ditahan, menurut Pemerintah, pemaknaan tersebut akan menimbulkan permasalahan tersendiri.
Hal tersebut karena penyelesaian masing-masing perkara akan berbeda, tergantung dari tingkat kesulitan dalam hal pembuktian perkaranya. “Misalkan, dalam perkara tindak pidana umum yang pembuktiannya dikategorikan tidak sulit, akan timbul masalah apabila pelimpahan perkara ke pengadilan terlalu lama dan cenderung dapat dipandang sebagai upaya mengulur-ulur waktu,” imbuhnya.
Sedangkan dalam perkara tindak pidana khusus, yaitu tindak pidana korupsi, dengan adanya pembatasan waktu yang dimohonkan oleh Pemohon, pembuktian perkara korupsi yang biasanya tingkat kesulitannya tinggi, akan menjadi terlalu sempit karena tidak memberikan cukup waktu bagi penuntut umum untuk menyusun surat dakwaannya. Oleh karena itu, apabila petitum pemohon diterapkan dalam penyelesaian perkara tindak pidana umum, dan tindak pidana khusus, akan tidak ideal dan tidak mencerminkan keadilan serta ketidakpastian hukum, dalam penanganan tindak pidana. Selain itu, juga bertentangan dengan asas peradilan cepat, biaya ringan dan sederhana.
Selain itu, dalam praktiknya, penyidik melakukan pemeriksaan terhadap tersangka tidak hanya dilakukan satu kali, pemeriksaan sesuai tingkat kesulitan pembuktiannya. Oleh karena itu, kata ‘segera’ justru mengandung fleksibilitas bagi penanganan tindak pidana dan ini sejalan dengan asas peradilan cepat, biaya ringan dan sederhana.
Sebelumnya, kata ‘segera’ dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP dinilai tidak memberikan jangka waktu yang pasti sehingga tidak menjamin kepastian hukum bagi tersangka. Hal tersebut dipaparkan Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) sebagai pemohon. Salah satu pemohon, Kurniawan, mengatakan kata segera tersebut tidak memberikan batasan jangka waktu yang jelas sebagaimana penahanan.
Adapun bunyi ketentuan yang dimohonkan pengujiannya, adalah:
Pasal 50 ayat (1)
“Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.”
Pasal 50 ayat (2):
“Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum.”
“Apabila melihat kenyataan dalam tatanan taksis, banyak seseorang yang sudah ditetapkan menjadi tersangka tidak juga dilakukan penuntutan dengan melimpahkannya ke pengadilan dengan alasan melengkapi berkas penyidikan,” ujar Kurniawan di ruang sidang MK, Jakarta, Selasa (27/10).
Tanpa ada batasan waktu tertentu, imbuh pemohon, dapat saja seseorang menjadi tersangka seumur hidup. Hal tersebut, bertentangan dengan hak tersangka untuk mendapat proses hukum yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan. Terlebih, menurut Pemohon, dalam putusan MK Nomor 3/PUU-XI/2013, MK telah memberikan tafsir yang sejalan dengan argumentasi Pemohon, yaitu MK menganggap kata ‘segera’ dalam pasal a quo telah menciderai hak dasar warga negara untuk mendapatkan kepastian hukum. (Lulu Hanifah)