Sejumlah organisasi petani mengajukan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (UU Perkebunan). Sidang perdana perkara yang teregistrasi dengan nomor 138/PUU-XIII/2015 ini digelar pada Selasa (24/11) pukul 11.00 WIB. Permohonan tersebut diajukan oleh sejumlah organisasi petani yaitu Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Perkumpulan Sawit Watch, Aliansi Petani Indonesia (API), Serikat Petani Indonesia (SPI), Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa), dan Farmer Initiatives for Ecological Livelihood and Democracy (Field).
Para Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya dua belas pasal dalam UU Perkebunan. Beberapa pasal yang digugat, yakni Pasal 12, Pasal 13, Pasal 27 ayat (3), Pasal 29, Pasal 30 ayat (1), Pasal 42, Pasal 55, Pasal 57, Pasal 58 ayat (1), Pasal 58 ayat (2), Pasal 107 dan Pasal 114 ayat (3) UU Perkebunan. Para pemohon salah satunya menilai pengaturan mengenai kerja sama berdasarkan pola tertentu seperti yang tercantum dalam Pasal 57 UU Perkebunan melanggar hak konstitusional petani. Menurut Pemohon yang diwakili oleh kuasa hukumnya Priadi, penentuan pola kerja sama yang diatur UU a quo tidak melibatkan kesepakatan para pihak dalam kebersamaan, partisipasi para pihak, kearifan lokal, dan kemandirian petani, pekebun dalam memenuhi pola kerja sama lebih banyak menghasilkan ketidakberhasilan. Hal tersebut dikarenakan perjanjian pola kerja sama seringkali dibuat secara sepihak oleh perusahaan.
“Akibat dari perjanjian yang dibuat secara sepihak, begitu banyak substansi kontrak yang merugikan petani dan menguntungkan perusahaan, sehingga petani tidak memiliki posisi tawar untuk menawarkan keadilan. Jadi, yang kita sasar di sini bahwa pola kemitraan yang terjadi selama ini telah diarahkan secara sepihak dari aturan-aturan yang ada, turunan dari undang-undang ini sendiri juga, dan juga dari pihak perusahaan, dan tanpa ada para pekebun bisa memiliki kekuatan untuk berkontrak secara setara dengan perusahaan,” terang Priadi di hadapan sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahidudin Adams.
Selain aturan mengenai kerja sama, Pemohon juga mempersoalkan mengenai adanya diskriminasi yang terjadi antara ketentuan bagi penanaman modal asing dengan dalam negeri. Menurut Priadi, jika terjadi penanaman modal asing yang tidak sesuai dengan Pasal 95 UU Perkebunan, maka para pemodal asing diberi waktu penyesuaian setelah hak guna usahanya berakhir. Hal berbeda dengan pemodal dalam negeri yang harus menunggu hingga lima tahun lamanya.
Kemudian, pasal terkait pengabaian pranata musyawarah masyarakat yang diganti dengan pranata musyawarah justru dinilai pemohon mengabaikan hak masyarakat adat. Pemohon menilai hal tersebut merupakan bentuk pelanggaran konstitusi, yaitu tidak mengakui salah satu eksistensi masyarakat adat serta menghalangi jaminan kepastian hukum dengan tidak diakuinya pranata dan perangkat hukum masyarakat adat. “Terlebih lagi, Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 35/PUU-X/2012 tentang Pengujian UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah mengakui keberadaan hukum adat untuk mengatur tata cara hidupnya termasuk teknik bermusyawarah,” jelasnya.
Saran Majelis Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim memberikan saran perbaikan terhadap pemohon. Wahidudin meminta agar Pemohon menjabarkan kerugian yang dialami. “Namun kedudukan konstitusional Pemohon ini kurang menguraikan mengenai kerugian konstitusional Pemohon yang di sini lebih cenderung potensial, bagaiamana potensialnya terlebih lagi kalau dapat diuraikan secara aktualnya, karena di sinilah legal standing dari Saudara-Saudara itu apa di kemukakan,” paparnya.
Sementara Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna memperbaiki perbedaan penggunaan istilah ‘petani kecil’ dan ‘petani kecil dalam negeri’. Menurut Palguna, keduanya memiliki makna yang berbeda dalam hukum sehingga penggunaan dalam permohonan harus diperhatikan. “Anda harus jelaskan dulu yang di dalam yang dimaksud petani kecil atau petani kecil dalam negeri itu di dalam alasan permohonan tentu saja sebab tanpa itu bagaimana tiba-tiba nyelonong ke sini muncul sebagai syarat kalau enggak Anda memberikan penjelasannya dalam posita terlebih dahulu kan itu jadi tidak masuk akal ya. jadi, jelaskan dulu di sana apakah ini merujuk kepada hal yang sama atau berbeda,” tandasnya.
Pemohon diberi waktu 14 hari untuk melakukan perbaikan permohonan. Sidang berikutnya diagendakan merupakan pemeriksaan perbaikan permohonan. (Lulu Anjarsari)