Pimpinan KPK nonaktif, Bambang Widjojanto dihadirkan oleh KPK (Pihak Terkait) sebagai ahli dalam sidang perkara Pengujian Undang-Undang KPK dan KUHAP yang dimohonkan OC Kaligis, Senin (23/11) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK). Di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman, Bambang Widjojanto menyampaikan tindak pidana korupsi makin merajalela dengan berbagai macam modus operandi sehingga diperlukan diperlukan lembaga pemberantas tindak pidana korupsi yang independen dengan ditopang oleh penegak hukum yang memiliki monoloyalitas.
Hal tersebut disampaikan Bambang Widjojanto terkait dengan permintaan pemohon yang meminta penyidik dan penyelidik KPK hanyalah berasal dari kepolisian atau dengan kata lain KPK tidak berhak mengangkat maupun memberhentikan sendiri penyidik dan penyelidik independen. Dengan tidak berhaknya KPK mengangkat penyidik dan penyelidik independen, Pemohon pun menganggap penangkapan atas dirinya setelah dilakukan proses penyidikan dan penyelidikan oleh penyidik dan penyelidik KPK tidaks sesuai prosedur.
Dalam keterangannya, Bambang kemudian menjelaskan bahwa saat ini bangsa Indonesia tengah dihadapi dengan berbagai tindak pidana korupsi yang kian merajalela. Semakin hari, modus operandi yang diapakai untuk melakukan tindak pidana korupsi makin beragam.
Dalam keterangannya, Bambang kemudian menjelaskan bahwa saat ini bangsa Indonesia tengah dihadapi dengan berbagai tindak pidana korupsi yang kian merajalela. Semakin hari, modus operandi yang diapakai untuk melakukan tindak pidana korupsi makin beragam. Kondisi ini sangat membahayakan bangsa, apalagi tindak pidana korupsi merupakan centre of meeting atau titik temu yang merekatkan tindak kejahatan lainnya seperti trafficking dan pencucian uang.
Dalam situasi seperti itu, Bambang menegaskan bahwa diperlukan kehadiran lembaga negara dan institusi penegak hukum yang independen. Hal inilah yang tengah berkembang di komunitas internasional yang menginginkan adanya lembaga antikorupsi yang bersigat independen yang kewenangannya diberikan langsung oleh Konstitusi. Selain itu, papar Bambang, saat ini juga berkembang suatu kencenderungan dalam masyarakat dunia bahwa lembaga pemberantas korupsi memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan sendiri penyidiknya.
“Hampir di seluruh di institusi anti-corruption agency di dunia status kepegawaian di bidang penyidikannya adalah pegawai tetap dan menurut catatan kami hanya ada tiga negara saja yatu Brazil, Nigeria, dan Srilangka yang penyidiknya adalah pegawai tidak tetap. Jadi, di sebagian besar lembaga antikorupsi yang ada di seluruh dunia seluruh investigator yang menjadi penyelidik dan penyidik diangkat sendiri oleh lembaga antikorupsi tersebut. Di Indonesia investigator yang menjadi penyidik menggabungkan antara pegawai yang berasal dari instansi asal seperti kepolisian dan juga yang diangkat sendiri oleh KPK,” ungkap Bambang Widjojanto.
Lebih lanjut Bambang menyampaikan bahwa prinsip keotoritasan atau kewenangan untuk merekruit sendiri dan memberhentikan sendiri staf, terutama penyidik dan penyelidik merupakan salah satu prinsip lembaga antikorupsi dunia yang diprakarsai United Nations Development Programme (UNDP). Hal ini juga sejalan dengan beberapa ketentuan perundangan lain yang mengatur mengenai eksistensi dari penyidik, seperti juga yang dicantumkan dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP. Di dalam beberapa peraturan lainnya dinyatakan bahwa penyidik tidak hanya berasal dari kepolisian serta pegawai negeri sipil saja. Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif misalnya, mengemukakan bahwa aparatur penegak hukum di bidang penyidikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah perwira tentara nasional Indonesia angkatan laut yang ditunjuk oleh panglima angkatan bersenjata Republik Indonesia. Pada penjelasan pasal dimaksud dikemukakan, perwira tentara nasional Indonesia angkatan laut yang dapat ditunjuk sebagai penyidik adalah misalnya, komandan kapal, panglima daerah angkatan laut, komandan pangkalan, dan komandan stasiun angkatan laut. Dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia juga diatur bahwa kejaksaan memiliki tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang
“Kesimpulan di atas berkesesuaian dengan Pasal 17 yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983. Pasal itu menyatakan, ‘Penyidik menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut dalam undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284, dilaksanakan oleh penyidik, jaksa, dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.’ Pasal tersebut di atas sebenarnya telah memberikan suatu rumusan dan lingkup yang tegas yang mengatur bahwa dalam satu pengujian penyidikan khusus dapat dilaksanakan oleh penyidik, jaksa, dan pejabat penyidik yang ditentukan bukan hanya berasal dari instansi kepolisian saja,” tegas Bambang. (Yusti Nurul Agustin)